Jakarta (ANTARA) - Anggota Fraksi PDI Perjuangan MPR RI, Henry Yosodiningrat menilai revisi UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sangat diperlukan khususnya untuk memperkuat peran Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pemberantasan kejahatan narkoba.

"Dalam UU Narkotika terdiri dari 155 pasal, dan hanya 37 pasal yang memberikan kewenangan kepada BNN. Selebihnya mengatur kewenangan Badan POM dan Kementerian Kesehatan," kata Henry dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk "Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan kedepannya peran BNN harus dipertegas apakah diberi peran dalam upaya pencegahan atau memberantas narkotika.

Menurut dia, kalau melakukan pencegahan mala jangan hanya dari pintu masuk peredaran narkotika karena jumlahnya ada ribuan.

"Pintu masuk kita ada ribuan jumlahnya, pantai kita hampir seratus ribu kilometer, pelabuhan-pelabuhan konvensional banyak, dan komitmen moral penegak hukumnya masih kurang. Mencegah dari pintu masuk tidak akan bisa karena jumlahnya banyak," ujarnya.

Dia menilai kalau mau mencegah maka harus dari negara asal atau dibentuk bidang khusus di BNN untuk menangani masalah tersebut.

Menurut dia di BNN ada Polri namun yang harus ditonjolkan adalah sosok lembaga yang "menakutkan" dan tidak kompromi terhadap narkotika.

"Seharusnya kita memiliki Kepala BNN yang 'gila', karena semua sudah kita lakukan, hanya satu yang belum yaitu meniru gaya pemerintah Filipina dalam memberantas narkotika," katanya.

Dia mengatakan UU Narkotika saat ini belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas padahal langkah tersebut diperlukan agar mempercepat proses revisi.

Henry mengatakan dirinya berusaha agar revisi UU Narkotika masuk Prolegnas Prioritas namun selalu gagal bahkan dirinya pernah menulis surat kepada Presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Saya pernah menulis surat kepada Presiden meminta supaya dikeluarkan Perppu karena itu cukup beralasan. Saat ini kondisi darurat narkoba, peraturan perundang-undangan yang ada tidak memadai untuk mengatasi kondisi darurat tersebut," katanya.

Dalam diskusi tersebut, mantan Kabag Humas BNN, Kombes Pol Sulistiandriatmoko mengatakan Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa Indonesia termasuk darurat narkoba dan harus ada langkah konkret untuk pernyataan tersebut.

Dia menilai, kalau sudah dalam kondisi darurat maka diperlukan anggaran, satuan tugas (satgas), metode, dan cara kerja khusus untuk menyelesaikan kondisi darurat narkoba tersebut.

"Berdasarkan survei tahun 2017, ada 3,3 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan itu menjadi pasar yang besar bagi pengedar. Karena itu ada 1001 cara mereka memasukan narkoba ke Indonesia," katanya.

Menurut dia, Indonesia sudah terlanjur menjadi pasar besar bagi pengedar narkotika sehingga diperlukan tindakan ekstra, bukan langkah yang biasa saja.

Dia menilai apa yang dilakukan BNN tidak ada yang ekstrem yang mencerminkan kondisi darurat narkoba seperti di Deputi Pemberantasan dan Deputi Pencegahan untuk menghadapi kondisi tersebut.

"Proses rehabilitasi pengguna narkoba yang bisa dilakukan setahun hanya 14.000 orang, lalu dengan jumlah pengguna 3,3 juta orang butuh berapa tahun untuk menyelesaikan masalah tersebut," ujarnya.

 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019