Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) ajukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan “mewarnai” proses penetapan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam usai melakukan konsultasi publik draft KLHS untuk RPJMN 2020-2024 di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya akan menyerahkan rancangan teknokratik RPJMN 2020-2045 kepada presiden terpilih pada April 2019. 

Tim dari presiden terpilih, lanjutnya, tentu nantinya akan berkonsultasi dengan Bappenas untuk menyesuaikan visi dan misi mereka, bagaimana mereka akan membawa pembangunan ke depan. 

“Dan ini harus sinkron dengan apa yang kita rancang. Kan nggak mungkin 100 persen baru semua juga, harus ada titik temu antara visi dan misi presiden terpilih dengan rancangan teknokratik ini,” ujar dia. 

Presiden terpilih memiliki waktu tiga bulan setelah dilantik untuk mengumumkan RPJMN-nya. Maka Bappenas memiliki waktu setelah April 2019 hingga Januari 2020 untuk memberikan masukan pada tim presiden terpilih, termasuk mengingatkan bahwa Indonesia juga memiliki target untuk mencapai Kesepakatan Paris (Paris Agreement). 

“Nah di situ lah proses KLHS ini terjadi, harus bisa ‘mewarnai’. Jangan sampai nanti kita sudah bikin perencanaan tapi ternyata ‘lari’ kemana lagi, dan kita tidak bisa melakukan ‘assessment’ apa-apa,” ujar dia.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan KLHS ini perlu dilihat sebagai suatu sistem.

Jika, dulu sistem pembangunan ekonomi, sosial dan budaya  berjalan terpisah, kini perubahan paradigma dilakukan dengan menggunakan pendekatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). 

Prinsipnya, ia mengatakan, semua kebijakan membangun berdasarkan KLHS yang berbasis sains, dengan menautkan ekonomi, sosial dan budaya.

Selanjutnya perlu pula diukur untuk memenuhi daya dukung daya tampung (DDDT), serta hal terpenting lainnya adalah bagaimana pembangunan memikirkan pula poin penurunan gas rumah kaca (GRK), selain upaya menyesuaikan dengan Kesepakatan Paris.*


Baca juga: Walhi desak pemerintah moratorium izin lepas hutan-industri ekstraktif

Baca juga: Kajian Lingkungan Strategis Merupakan Tindakan "Pre-Emptive" Pembangunan


 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019