Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR Mahyudin menekankan pentingnya pemilihan umum yang menghasilkan pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas dan mampu menyuarakan aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat.
 

“Sekarang kita tak lagi melihat representasi semua masyarakat di MPR,” kata wakil ketua MPR Mahyudin dalam siaran pers yang diterima Antara Jakarta, Kamis.
 

Pernyataan itu dia sampaikan dalam diskusi bertema ‘MPR Rumah Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat’ yang digelar di Press Room pada Kamis, 22 November 2018, yang dipujinya sebagai acara yang menarik.
 

Dalam kesempatan tersebut, pria asal Kalimantan itu mengingatkan kembali bahwa sebelum UUD Tahun 1945 diamendemen, MPR merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Anggota lembaga tersebut berasal dari perwakilan yang dipilih melalui pemilu dan juga anggota yang diangkat untuk mewakili daerah dan golongan mereka.
 

Namun, setelah UUD Tahun 1945 diamendemen, hal tersebut tidak ada lagi. Saat ini, MPR menjadi lembaga negara yang setara dengan Dewan Perwakillan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga negara lain. Tidak ada lagi anggota yang berasal dari utusan daerah atau golongan.
 

“Sekarang semua anggota MPR dipilih lewat Pemilu”, ungkapnya.

Hal tersebut terjadi karena angota MPR adalah gabungan anggota DPR dan DPD, yang semua anggotanya dipilih lewat pemilu.

Wakil Ketua MPR tersebut mengakui ada nilai positif sekaligus negatif dari sistem pemilu yang ada saat ini. Dari segi positif, menurutnya, rakyat bisa memilih atau menentukan wakil rakyat atau pemimpin yang mereka kehendaki. Sementara di sisi lain, orang yang tidak pantas pun bisa menjadi wakil rakyat jika dia memperoleh suara yang cukup.
 

Dia mengatakan pemilu akan melahirkan pemimpin yang ideal jika didukung oleh kondisi masyarakat yang sudah cerdas dan perekonomian yang baik. Sayangnya, kondisi tersebut belum tercapai sehingga sistem pemilu saat itu justru mendorong terjadinya money politic, pembagian sembako dan praktik serupa lain yang akan menyebabkan orang-orang bermodal saja yang bisa menjadi wakil rakyat.
 

“Banyak kader yang berkualitas tak terpilih karena tak punya modal”, ungkapnya.
 

Kader yang dihasilkan dari praktik kotor tersebut menyebabkan turunnya kualitas parlemen, tegasnya. Dia mencontohkan Rapat Paripurna DPR yang kerap tidak dihadiri banyak anggota. Dan banyak dari anggota DPR tersebut menyebut tidak ada hubungan antara kehadiran dalam rapat atau sidang dengan pemilihan mereka saat pemilu.
 

“Menyedihkan bila saat rapat-rapat komisi tak ada orang”, sambungnya.
 

Untuk itu, dia berpesan agar pemerintah memikirkan perubahan dalam sistem pemilu sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
 

Di tengah munculnya potensi radikalisme di dalam masyarakat, Mahyudin menekankan perlunya lembaga negara untuk mensosialisasikan Empat Pilar yang diamanatkan kepada lembaga-lembaga tersebut dalam UUD MD3. Sehingga, dia berharap jumlah potensi radikalisme dapat dibendung.
 

“Untuk itu pemerintah harus juga ikut melakukan sosialisasi”, tuturnya.

Baca juga: Mahyudin nilai pendidikan dan kemiskinan masalah utama Indonesia
 

Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin, yang dalam kesempatan itu juga menjadi pembicara, menyampaikan harapannya agar MPR menjadi rumah kebangsaan. Dia berharap kehadiran MPR di masa mendatang dapat dirasakan oleh masyarakat.
 

“MPR ke depan kehadirannya harus bisa dirasakan publik”, tuturnya.
 

Dia mengakui bahwa tugas lembaga tersebut cukup berat, seperti mengubah dan menetapkan UUD, berwenang memakzulkan presiden, serta memilih presiden dan wakil presiden. Karena itu, MPR tidak bisa disamakan dengan lembaga negara lain, terlebih dibandingkan dengan kementerian.
 

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa amendemen UUD yang telah berjalan selama 20 tahun memang terbukti menghasilkan banyak perubahan. Namun, dalam perubahan itu ada beberapa hal yang membuat rakyat merasa tidak nyaman dengan sistem yang berjalan.
 

“Antar tetangga jadi bermusuhan gara-gara beda pilihan menjelang Pemilu Presiden”, ujarnya.
 

Dan keresahan tersebut pada akhirnya memunculkan wacana untuk kembali ke sistem pemilu sebelum UUD Tahun 19945 diamendemen. Karena itu, dia menekankan perlunya pemerintah untuk mempertimbangkan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pemilihan umum.
 

Meski demikian, dia mengingatkan bahwa tidak ada UUD yang sempurna.(KR-KAT)

Pewarta: Katriana
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018