Oleh Djoko Setijowarno *) 

Akhir-akhir ini gencar sekali keinginan Pemprov Jawa Tengah untuk membangun jalan Tol Bawen-Yogyakarta dianggap sebagai kelanjutan jaringan Tol Semarang-Bawen.

Keinginan itu cukup kuat setelah dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk menopang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur.

Untuk mendukung KSPN Borobudur telah ditetapkan adanya jaringan jalan Tol Bawen-Yogyakarta sepanjang 71,5 kilometer.

Sesungguhnya, daerah tujuan wisata membutuhkan banyak orang yang berkunjung, bukan banyak kendaraan yang hadir.

Dengan banyaknya kendaraan, pengusaha pariwisata harus menyediakan lahan parkir yang cukup luas. Lebih berfaedah jika lahan tersebut untuk pengembangan wisata.

Justru sebenarnya yang perlu dipikirkan pemerintah adalah akses dan jaringan angkutan umum ke lokasi ke lokasi wisata yang harus mendapat prioritas untuk memperbanyak pelancong hadir.

Turis ke Malaysia dan Thailand lebih besar jumlahnya daripada yang ke Indonesia. Kata kuncinya, selain informasi dan layanan, juga tidak ketinggalan akses jaringan transportasi umum.

Di Indonesia, untuk mengujungi lokasi wisata harus menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa kendaraan bagi yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Tersedianya transportasi umum yang terjadwal menuju lokasi wisata sangat minim.

Mestinya pemerintah mendorong swasta untuk menyediakan sarana transportasi umum yang terjadwal dari Kota Semarang, Solo dan Yogyakarta, sehingga bagi perorangan yang akan ke Borobudur tidak perlu menyewa kendaraan.

Demikian pula untuk lokasi wisata yang lain, hendaknya tersedia jaringan layanan transportasi umum yang rutin. Jika kita ke Malaysia, akan mengunjungi Tanah Genting Kra, sudah tersedia bus umum di KL Centre, Stasiun Kereta di pusat Kota Kuala Lumpur.

Selama ini turis dari sejumlah kapal pesiar yang bersandar di Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang sudah bisa dan terbiasa ke Borobudur pulang pergi dengan menyewa bus menggunakan jalan yang sudah ada (Tol Semarang-Bawen dan ruas jalan Bawen-Magelang).

Bahkan, bisa singgah melihat Museum KA Ambarawa yang sekarang sudah tertata dengan apik. Jika nanti melewati Tol Bawen-Yogya, bisa jadi turis tidak akan singgah lagi melihat Museum KA Ambarawa lagi, sehingga bisa kehilangan pemasukan dari turis kapal mewah.

Tidak harus semua kawasan wisata harus ada akses jalan tol. Jalan umum pun sudah cukup, tinggal bagaimana mengelola jalan yang ada.

Ruas jalan Magelang-Semarang memang menjadi jalur truk pasir. Karena muatannya berlebih menyebabkan laju kendaraan lain menjadi terganggu.

Angkutan truk pasir ini yang perlu dikelola dan dialihkan ke jalan rel jika nanti jalan Yogyakarta-Magelang-Bawen belum cukup lebar, bisa dibangun menjadi empat lajur. Lebih murah dan mudah dilakukan.

Sekarang sudah terbangun jalan lingkar Ambarawa dengan empat lajur tidak mengganggu lagi aktivitas lalu lintas di Kota Ambarawa yang kerap didera kemacetan terutama di Pasar Projo.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Bidang Perkeretaapian Kementerian Perhubungan 2020-2024, terdapat tiga lintas KA yang menjadi terget diaktifkan, yaitu lintas Purwokerto-Wonosobo, lintas Semarang-Rembang dan lintas Kedungjati-Secang-Magelang-Yogyakarta.

Produk lokal

Keberadaan rest area di ruas jalan tol tidak menjamin semakin laris. Harga sewa lahan yang tinggi dipastikan harga produk juga menjadi mahal. Keberadan rest area bisa meniru pengelola tol di Malaysia. Rest area berada di luar jaringan jalan tol tetapi dekat pintu masuk tol.

Harga sewa lahan masih murah. Informasi keberadan rest area tersebut diberikan pada ruas tol sehingga memudahkan pengguna tol mengetahuinya. Bila perlu ada tawaran keluar dan masuk tol lagi tidak dikenakan biaya tambahan.

BUMN Des bisa saja dilibatkan dengan memiliki saham Tol Bawen-Yogyakarta, namun yang lebih tepat adalah warga yang terdampak langsung jalan tol tersebut agar tidak kehilangan pendapatannya perlu dilibatkan dan ada jaminan keberlangsungan hidupnya.

Cara PT KAI ketika membangun jaringan KA Bandara Soekarno Hatta perlu ditiru. Masyarakat tidak kehilangan peluang pekerjaan dan mendapatkan jaminan hidup dengan menempatkan salah satu anggota keluarganya menjadi pegawai di PT KAI. Selain itu juga mendapat uang pengganti atas lahan dan tempat tinggal terkena pembangunan jalan rel tersebut.

Tol yang sudah terbangun di Pulau Jawa tidak seluruhnya semua kota harus terhubung jaringan jalan tol. Apalagi masih ada alternatif lain yang lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah dikerjakan.

Tol yang terbangun dipastikan akan menerjang sejumlah lahan produktif dan menghilangkan mata pencaharian sebagai petani penggarap. Pemilik lahan bisa mendapatkan uang ganti lahan. Sementara petani penggarap lahan pertanian pasti akan kehilangan pekerjaan.

Sejumlah petani yang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak Tol Trans Jawa hingga sekarang masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Jangan sampai nantinya terkesan pembangunan jalan tol menghilangkan mata pencaharian petani penggarap.

Masih banyaknya kepala daerah yang bersemangat membangun jalan tol mesti terkadang daerahnya kurang mendukung. Hal ini menandakan kepala daerah belum peduli dengan layanan transportasi umum.

Perlu disimak, hingga sekarang belum pernah ada kepala daerah yang mengeluhkan kondisi transportasi umumnya di daerah yang kian merana dan menuju kepunahan.

Mengaktifkan rel

Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) telah menghitung investasi yang harus dikeluarkan dalam proyek pembangunan jalan tol Bawen - Yogyakarta sekitar Rp10,72 triliun. Jumlah tersebut dihitung dari 1,5 kali dari panjang tol dikali investasi per kilometer, yaitu sekitar Rp100 miliar.

Ruas panjang tol ini dibangun sepanjang 71,5 kilometer (km), sehingga total investasi yang harus dikeluarkan sebesar Rp10,72 triliun.

Antara Yogya-Semarang juga pernah ada layanan moda kereta. Namun di beberapa lintas menjadi jalur rel yang non aktif. Yang masih aktif adalah lintas Semarang hingga Kedungjati (35 km) untuk kereta penumpang dan logistik. Sementara lintas Tuntang-Ambarawa-Bedono (16 km) digunakan untuk jalur kereta wisata.

Lintas yang tidak aktif antara Kedungjati-Tuntang dan Bedono-Secang-Magelang hingga Yiogyakarta. Ada 14 stasiun dan 16 halte tidak aktif antara Bedono hingga Yogyakarta. Sementara antara Kedungjati-Tuntang (30 km) terdapat 3 stasiun dan 2 halte yang tidak aktif. Jalur Kedungjati-Tuntang mulai tahun 2014 sudah dilakukan revitalisasi.

Namun sejak 2016 terhenti karena ada masalah kajian amdal yang belum tuntas. Namun sekarang sudah bisa diselesaikan, mulai tahun 2019 dianggarkan terbangun sepanjang 15 km dan tahun 2020 sisanya (15 km). Harapannya di akhir tahun 2020 sudah bisa terhubung Semarang-Ambarawa.

Secara teknis, jalur rel yang harus diaktifkan dan perbaiki sepanjang 83 km biaya membangun jalan rel Rp30-40 miliar per km, total diperlukan Rp2,9 triliun. Hanya sepertiganya dari membangun tol (Rp10,72 triliun).

Jika di dalam Kota Magelang bisa dibuat melayang (elevated) atau dicarikan trase baru di luar kota. Pemerintah Hindia Belanda pernah merencanakan pembangun jalan rel dari Purworeko ke Muntilan. Namun hingga kini belum terwujud

Membangun jalur kereta hanya menertibkan lintas yang ditempati warga. Sementara membangun jalan tol harus mengggurus tempat tinggal warga dan menghilangkan sejumlah lahan produktif.

Mengaktifkan kembali jalan rel lebih hemat, tidak menutup sumber mata air, tidak menghilangkan sejumlah jaringan irigasi, tidak mengorbankan lahan pertanian produktif.

Masihkah kita mau peduli dengan krisis energi, pangan dan air yang sedang dihadapi bangsa ini. Membangun infrastruktur transportasi yang peduli lingkungan sangat diharapkan. Seminimal mungkin merusak lingkungan.

Sudah cukuplah dengan terwujudnya jalan Tol Trans Jawa. Tidak perlu lagi ditambah jaringan Tol Cilacap-Yogyakarta, Yogyakarta-Solo dan Bawen-Yogyakarta. Justru mengaktifkan jalan rel se-Pulau Jawa yang jadi terget berikutnya dilakukan pemerintah akan datang.

Masterplan Jaringan KA Pulau Jawa sudah ada dan Rencana Induk Perkertetapian Nasional (RIPNAS) sudah diterbitkan.

*) Penulis adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata

Pewarta: -
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018