Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan kerja sama penanggulangan radikalisme antara Indonesia dengan negara-negara lain harus terus ditingkatkan agar penyebaran dan aksi radikal antarnegara bisa ditanggulangi.

"Radikalisme dan terorisme bukan sekadar fenomena sehingga kerja-kerja deradikalisasi dan kontraradikalisasi harus ditingkatkan, termasuk sinergi dengan negara-negara lain," kata Arsul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Menurut politikus PPP itu, radikalisme yang berkembang di Indonesia adalah produk impor dari negara tertentu atau ideologi transnasional.

"Institusi di Indonesia, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), harus mengetahui asal dan cara penanganannya dengan bekerja sama dengan badan sejenis di negara lain," kata Arsul.

Menurut dia, dengan Undang-Undang (UU) Antiterorisme yang baru semestinya penanganan radikalisme dan terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri, bisa lebih terarah dan tepat sasaran.

"Saya yakin dengan UU Antiterorisme yang telah disahkan, kita bisa mengantisipasi bentuk-bentuk tindak pidana terorisme yang ada sekarang maupun akan datang. Bahkan UU juga memberikan kewenangan tidak hanya dalam wilayah teroterial Indonesia, tetapi juga di luar negeri," katanya.

Mantan anggota Pansus Revisi UU Antiterorisme ini mencontohkan, dulu yang bisa dihukum dalam kasus terorisme adalah orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme di Indonesia saja.

"Dengan UU Antiterorisme yang baru seseorang yang melakukan perbuatan terorisme di luar negeri, lalu pulang ke Indonesia, bisa langsung diproses hukum. Artinya, aspek global atau transnasional dalam regulasi terorisme di Indonesia sudah ada secara nyata," katanya.

(T.S024/C/Y008/Y008)

Baca juga: Hasil revisi komprehensif dalam RUU Terorisme
Baca juga: RUU Anti-Terorisme pun sasar WNI yang jadi kombatan teroris
Baca juga: RUU Anti-Terorisme juga atur pidana teroris yang libatkan anak

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018