Jakarta (ANTARA News) - Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi agenda utama pemerintah bersama DPR RI menyusul serentetan aksi terorisme di beberapa daerah akhir-akhir ini.

Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, diharapkan selesai pada Mei ini atau Juni mendatang untuk dapat disetujui dan disahkan menjadi UU baru yang menjadi payung hukum dalam mengantisipasi dan menanggulangi aksi terorisme.

Revisi tidak hanya menyangkut isi pasal demi pasal tetapi juga ada penambahan bab.

Di antara Bab VII Kerja Sama Internasional dan Bab VIII Ketentuan Penutup, misalnya, ditambahkan tiga bab baru yakni Bab VIIA Pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Bab VIIB Kelembagaan, dan Bab VIIC Ketentuan Peralihan.

Dalam Bab VIIA Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Bagian Kesatu Umum pada Pasal 43A memuat tiga ayat. Ayat (1) Pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. Ayat (2) Dalam upaya melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah melakukan langkah?langkah antisipasi yang bersifat proaktif dan dilaksanakan secara terus menerus serta dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.

Sementara ayat (3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. kesiapsiagaan nasional; b. kontra-radikalisasi; dan c. deradikalisasi.

Dalam Bab VIIA Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Bagian Kedua Kesiapsiagaan Nasional pada Pasal 43B memuat empat ayat. Ayat (1) Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (3) huruf a dilakukan oleh pemerintah guna mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme. (2) Pelaksanaan kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.

Sementara Pasal 43B ayat (3) Kesiapsiagaan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme. Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 1) - Revisi menimbang dan mengingat

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 2): Revisi pasal demi pasal

Baca juga: RUU Terorisme (Bagian 3): Revisi penyidikan dan perlindungan korban


Dalam Bab VIIA Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Bagian Ketiga Kontra-Radikalisasi Pasal 43C juga memuat empat ayat. Ayat (1) Kontra-radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme.

Ayat (2) Kontra-radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait. Ayat (3) Kontra-radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra- propaganda, atau kontra ideologi. Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kontra-radikalisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam Bab VIIA Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Bagian Keempat Deradikalisasi Pasal 43D memuat tujuh ayat. Ayat (1) Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.

Ayat (2) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada: a. tersangka; b. terdakwa; c. terpidana; d. narapidana; e. mantan narapidana terorisme; atau

f. orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Ayat (3) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/ lembaga terkait. Ayat (4) Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan:

a. identifikasi dan penilaian; b. rehabilitasi; c. reedukasi; dan d. reintegrasi sosial.

Ayat (5) Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui: a. pembinaan wawasan kebangsaan;

b. pembinaan wawasan keagamaan; dan/atau c. kewirausahaan.

Ayat (6) Pelaksanaan Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian. Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bab VIIB Kelembagaan mengatur soal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.

Diatur pula mengenai fungsi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi: a. menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme;

b. menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; dan c. melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Dalam melaksanakan fungsi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas: a. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi, dan deradikalisasi; b. mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme;

c. mengoordinasikan program pemulihan korban; dan d. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.

Dalam RUU itu juga menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan Peraturan DPR.

Masih dalam Bab Kelembagaan, disebutkan pula bahwa tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme diatur dengan Peraturan Presiden.

Sementara bab VIIC Ketentuan Peralihan menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana terorisme yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Dalam RUU itu juga menghapus Pasal 46 dalam Bab VIII Ketentuan Penutup pada peraturan sebelumnya.

Antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 46A yang berbunyi "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Tindak Pidana Terorisme yang ada dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pendanaan terorisme".

Baca juga: Anggota DPR pertanyakan pembentukan Koopssusgab terorisme

Baca juga: PPP: pembentukan Koopssusgab sebaiknya setelah RUU Antiterorisme disahkan

Baca juga: Presiden Jokowi restui pembentukan Koopssusgab berantas teror

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018