Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Rabu untuk mendampingi tersangka kasus kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung.

"Mendampingi tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) telah tiba di gedung KPK sekitar pukul 09.45 WIB, namun ia tak berkomentar terkait kedatangannya tersebut.

Sementara itu pada Rabu, KPK juga dijadwalkan memeriksa Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI.

Sebelumnya, KPK telah menginformasikan bahwa Syafruddin Arsyad Temenggung akan segera dilimpahkan ke penuntutan dalam waktu dekat.

"Kasus BLBI dengan satu tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung itu masih proses dalam penyidikan. Dalam waktu dekat kami akan pelimpahan ke penuntutan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/4).

Oleh karena itu, kata Febri, dalam waktu dekat tersebut penyidik akan menyerahkan berkas dan tersangka Syafruddin ke tahap penuntutan.

"itu artinya tidak terlalu lama akan dibawa ke persidangan, nanti perlu diuji lebih lanjut," ucap Febri.

Febri mengungkapkan bahwa ada 69 saksi sampai saat ini yang telah diperiksa dalam proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin dari berbagai unsur.

"Ada dari pihak swasta yang cukup banyak lebih dari 30 orang kemudian ada pejabat dan juga pegawai dari PT Gajah Tunggal yang kami periksa, ada dari KKSK, notaris, pengacara, dan unsur lain yang kami periksa untuk membuat terang perkara ini," tuturnya.

KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.

Baca juga: Hakim tegaskan penetapan Syafruddin Tumenggung tersangka sesuai prosedur

Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.

Baca juga: KPK apresiasi hakim tolak praperadilan Syafruddin Tumenggung

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018