Surabaya (ANTARA News) - Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji menyatakan usulan Gebernur Jatim Soekarwo tentang perubahan nama Jalan Gunungsari menjadi Prabu Siliwangi dan Jalan Dinoyo menjadi Sunda bisa dibatalkan jika tidak memenuhi unsur yang telah ditetapkan.

"Bisa saja dibatalkan, tergantung masukan dari tokoh masyarakat, akademisi, pakar sejarah atau pihak yang berkompeten. Sejauh mana mereka bisa mempertahankan nama jalan itu," kata Armuji kepada Antara di Surabaya, Rabu.

Menurut Armuji, Gubernur Jatim sudah berkirim surat kepada DPRD Surabaya dan Wali Kota Surabaya. "Katanya sudah mendapat persetujuan dari bu wali kota. Tapi mekanisme tetap harus melalui pansus. Sekarang bola ditangan DPRD, kami belum lihat isi suratnya seperti apa?" katanya.

Armuji mengatakan pihaknya akan mempelajari surat tersebut, setelah itu akan menggelar rapat badan musyawarah (banmus) DPRD Surabaya untuk membentuk panitia khusus (pansus) perubahan nama jalan.

Mengenai perubahan dua nama jalan tersebut, Armuji menilai perubahan tidak gampang dan membutuhkan waktu yang lama, karena akan berpengaruh terhadap administrasi kependudukan warga setempat, seperti KTP, KK, akta tanah dan lainnya.

"Jadi persoalan administrasi kependudukan akan menjadi pertimbangan," katanya.

Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha mengatakan pihaknya justru mempertanyakan alasan gubernur mengusulkan perubahan dua nama jalan di Surabaya itu.

Selain itu, lanjut dia, dua jalan tersebut mempunyai sejarah bagi Kota Surabaya. "Kenapa Dinoyo dan Gunung Sari, bukan Darmo atau Bubutan. Ini harus ada kajian dari sejarawan," katanya.

Politikus PKB ini mengaku dirinya tak apriori dengan usulan itu. Namun, ia mempertanyakan, kenapa usulan itu disampaikan menjelang masa jabatan Gubernur Jatim berakhir. "Mudah-mudahan tidak ada kepentingan apapun, murni untuk kepentingan Surabaya dan Jawa Timur," katanya.

Hal sama juga dikatakan anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey. Ia mengatakan perubahan nama jalan di Kota Surabaya yang dikemas dalam acara rekonsiliasi budaya tersebut justru membuka luka lama tanpa alasan yang jelas.

"Kita semua kan sudah terikat dalam NKRI, ini bukan zaman kerajaan lagi, ini sudah masuk zaman now, maka sikap Pemprov Jatim seperti itu sama saja dengan membuka luka lama yang seharusnya tidak diperlukan lagi, jangan melukai masyarakat setempat karena disana ada nilai historikal," katanya.

Kalaupun acara rekonsiliasi tersebut dilanjutkan, lanjut Awey, seharusnya tidak memilih kedua nama jalan tersebut. "Kan bisa dicarikan alternatif lokasi jalan di kawasan pengembang baru yang mana jalannya masih baru agar tidak menimbulkan polemik sosial," katanya.

Penamaan dua jalan tersebut digagas dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam acara rekonsiliasi budaya antara Sunda dan Jawa dengan tema "Harmoni Budaya Sunda Jawa" di Surabaya Selasa (6/3).

Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan pergantian nama jalan menandai rekonsiliasi antara Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat sekaligus mengakhiri 661 tahun "perselisihan" antaretnis Sunda dan Jawa.

"Melalui ini, permasalahan antara etnis Jawa dan Sunda yang terjadi pascatragedi Pasunda Bubat yang terjadi pada tahun 1357 Masehi selesai hari ini," ujarnya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018