Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menilai perubahan kedua UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) terlalu terburu-buru disetujui sehingga memberikan dampak psikologis pada masyarakat.

"Fraksi PPP sudah meminta agar DPR meminta masukan dari banyak pihak, perihal pasal mengenai penghinaan parlemen serta pemanggilan paksa, tapi karena tidak dihiraukan, sehingga memilih WO (walk out) pada saat RUU tersebut disetujui," kata Arsul Sani, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Menurut Arsul, setiap pasal dalam aturan perundangan, memiliki makna filosofis, sosiologis, dan makna psikologis.

Pada pasal 122 huruf (k) UU MD3 yang baru disetujui, mengatur soal penghinaan parlemen, tapi tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan dampak psikologis bagi masyarakat.

"Pada pembahasan RUU MD3 ini seharusnya meminta masukan dari banyak pihak dan membuat penjelasan dari pasal 122 huruf (k) tersebut dalam undang-undang yang sama, bukan aturan turunannya," katanya.

Sektetaris Jenderal PPP ini menambahkan karena tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dan dampak psikologis pada masyarakat.

Praktisi hukum ini menjelaskan, pasal 122 huruf (k) dibuat didasarkan pada usulan pasal 407 dan pasal 408 pada RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR RI.

Pada kedua usulan pasal dalam RUU KUHP tersebut, kata Arsul, mengatur soal penghinaan terhadap lembaga negara.

"DPR RI adalah lembaga negara, sehingga perlu ada pasal yang mengatur penghinaan terhadap parlemen dalam undang-undang tentang parlemen, tapi karena tidak ada penjelasan sehingga menimbulkan salah persepsi," katanya.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018