Melly sempat bicara mungkin enggak membawa anak dibawa pulang ke Indonesia."


Jakarta (ANTARA News) - Penyanyi religi Opick berkesempatan menemui para pengungsi Palestina di tiga negara perbatasan Palestina, salah satunya di Turki pada Desember 2017.

Saat itu musim dingin, Opick yang datang bersama musisi Melly Goeslaw dan 13 orang lainnya tiba di rumah-rumah tak layak huni yang ditempati pengungsi Palestina di daerah Gaziantep, selatan Turki.

Mereka membawa bantuan untuk para pengungsi dari masyarakat Indonesia melalui Sahabat Palestina Memanggil (SPM). Ada selimut, kasur dan penghangat ruangan di antara barang-barang yang mereka bawa.

Benda-benda yang mungkin tampak sederhana bagi sebagian orang itu ternyata mampu menyunggingkan senyum di wajah para pengungsi.

"Setelah mereka diberi karpet untuk alas tidur. Kalau tidak ada alas tidur bagaimana? Dingin banget. Lantai kan dingin. Dua hari saja (tanpa alas) bisa mati. Kasur yang spon, mereka senang banget," ujar Opick dalam konferensi pers di Jakarta, semalam.


"Dikasih selimut. Apalagi kami membeli semacam alat, nanti dimasukan arang jadi ruangan langsung hangat semua. Mereka senang banget. Karena kalau enggak pakai itu dingin banget," sambung dia.

Di balik senyum itu masih ada ganjalan. Opick berkisah, selain harus berhadapan dengan dinginnya udara, para pengungsi yang rata-rata kehilangan sanak keluarganya itu menghadapi berbagai ketidakpastian. Salah satunya soal makanan.
 
"Mereka enggak ada persiapan makan siang, makan malam. 420.000 pengungsi. Untuk makan saja susah, belum yang lain-lain. Lalu kesehatan. Di setiap tenda pasti ada keluarga yang mati. Entah bapaknya. Yang kuat-kuat yang menanggung mereka semua ini," papar Opick.

Belum lagi masalah penculikan anak-anak yang marak terjadi. Opick mengaku sempat berpikir ingin membawa sejumlah anak dari sana ke Tanah Air untuk dirawat dan disekolahkan. Namun dia paham ini tak mudah.

"Melly sempat bicara mungkin enggak membawa anak dibawa pulang ke Indonesia. Tidak semudah itu. Di sekitar sana itu kan banyak penculikan anak, enggak tahu dijadikan apa. Makanya sulit sekali membawa anak-anak keluar dari sana," kata dia.

Namun, menurutnya hal ini bisa saja terjadi jika pemerintah Indonesia turun tangan.

"Pemerintah mungkin bisa. Mungkin 30 orang bisa disekolahkan di sini. Anak-anak itu perlu orang tua," tutur dia.


Kunjungan di tiga negara perbatasan Palestina

Dalam kesempatan yang sama, Pembina SPM Amrozi M Rais mengungkapkan selain rumah-rumah tak layak huni, sejumlah lokasi yang rombongan sambangi antara lain sekolah penghafal Al-Quran khusus pengungsi Palestina, bernama lqro, di Istanbul bagian barat laut dan tempat pengungsian Palestina yang berada di perbatasan Suriah-Turki, daerah Killis,

Lebih jauh Amrozi mengemukakan, awalnya rombongan berniat berangkat ke Beirut, Lebanon untuk melanjutkan misi Duta Kemanusiaan berikutnya. Namun, hingga 20 Desember 2017 belum ada respons dari pihak otorita Beirut.

"Padahal sudah dua kali, pihak Hayat Yolu, mengajukan permohonan visa ini ke Pemerintah Lebanon. Pengurusan visa ini tergolong lama, karena satu bulan kami sudah mengajukan dan dalam proses," kata doa.

"Info yang kami dapat dari pihak Hayat Yolu, bahwa alasan mereka menolak pengajuan paspor kami adalah jumlah duta kemanusiaan yang terlalu besar dan dari sisi keamanan. Karena Beirut dan kota-kota besar lainnya di Lebanon, dalam kendali Hizbullah. Lobi demi lobi kami usahakan, namun berujung kegagalan. Termasuk kami melobi KBRI di Beirut, itupun gagal,” ungkap Amrozi.

Amrozi berjanji akan mengganti kegagalan kunjungannya ke Beirut, dengan membelikan 2 unit mobil ambulans. Rencananya, penyaluran mobil ambulans ini akan dilakukan pada Maret 2018.





Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018