Jakarta (ANTARA News) - Membaca karya sastra Tambera, Utuy Tatang Sontani, akan mengingatkan kembali semboyan Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau "Jasmerah" yang diucapkan Presiden Republik Indonesia Pertama Soekarno saat HUT RI 17 Agustus 1966.

Makna yang terkandung dari Jas merah, adalah masa lalu adalah guru terbaik dalam meniti kehidupan ke depannya. Mungkin pesan itu yang ingin disampaikan oleh sang penulis, meski karyanya itu dicetak pertama kali pada 1949 atau masih beraroma revolusi tatkala semua rakyat Indonesia bahu membahu membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun pesan itu saat ini masih layak untuk diingatkan.

Buku cetakan ke-III (2002) Penerbit Balai Pustaka ini, bercerita tentang seorang bocah Tambera anak kepala kampung Pulau Lontor, Banda, Imbata dan ibunya Wubani dengan latar belakang tahun 1599 saat Bangsa Belanda, Spanyol dan Portugis sedang giat-giatnya berburu hasil bumi ke seantero tanah air melalui persaingan usaha yang tidak sedikit diwarnai dengan pertempuran.

Bangsa Belanda yang mula-mula bersahabat dengan warga pribumi karena menginginkan rempah-rempah wilayah itu, yakni pala. Menjalin persahabatan dan kerjasama dengan kepala kampung dan perangkatnya. Padahal kepala kampung Imbata sudah jauh-jauh hari bekerja sama dengan Bangsa Inggris yang digambarkan dengan tokoh Willington.

Namun berkat bujuk rayu dari dari Bangsa Belanda yang diwakilkan oleh Tuan Van Speult berhasil meluluhkan hati Imbata hingga diberikan sebidang tanah untuk rumahnya yang berujung dengan mendirikan benteng dan wargapun diperkenalkan dengang uang setelah sebelumnya hanya mengenal sistem barter barang. Tanpa disadari kebaikan itu akan melahirkan hasil buruk yang setimpal di kemudian hari.

Benteng itu didirikan dengan memanfaatkan warga setempat berupah murah karena kekhawatiran Van Speult akan adanya serangan dari Bangsa Spanyol dan Portugis. Tentunya akan membahayakan Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereeningde Oostindische Compagnie atau VOC).

Selesainya pembangunan benteng itu, Van Speult pun membawa tentara VOC dari Gresik Jawa Timur. Dimulailah masa kegelapan pulau yang kaya akan hasil rempah-rempah itu. Terjadilah kesewenang-wenangan dan monopoli perdagangan dari Belanda itu, dengan mensyaratkan penjualan hasil bumi itu hanya kepada mereka kalau ada yang menjual ke Bangsa Spanyol atau Portugis akan ada hukumannya. Dan harga rempah-rempah ditentukan sepihak oleh mereka.

"Disebutkan, bahwa jika kita tak mau meneken kontrak itu. Maka harus memikul risikonya," jawab Imbata yang menyampaikan hasil pertemuannya dengan Van Speult kepada warganya.

Praktik yang bakal menyengsarakan rakyat Pulau Lontor itu, ditentang oleh salah seorang warganya, Kawista, yang didukung oleh sejumlah rekan-rekannya yang telah terlebih dahulu memboikot untuk ikut membangun benteng milik Belanda itu.

"Ah Paman, mengapa perjanjian saja akan mengikat langkah? Sekarang sudah bukan dulu, Paman. Keadaan Sekarang memaksa kita, supaya kita memandang mereka tidak lagi sebagai kawan. Sebelum mereka berhasil membikin benteng, sebelum mereka dapat mendatangkan tentara di sini, sebenarnya mereka sudah mesti tidak ada di sini. Kita sudah terlambat. Tapi sekali ini jangan kita tinggalkan lagi, jangan kita percaya saja, Bahwa mereka ada di sini untuk jadi sahabat kita. Kalau tidak sekarang mereka diusir, nanti tentu ada lagi kesusahan buat kita," kata Kawista.

Kawista pun mengajak rekan-rekannya untuk melakukan perlawanan dan mengusir Bangsa Belanda dengan diam-diam meminta bantuan dari Bangsa Inggris, Tuan Willington, yang terusir ke Pulau Kai melalui penghubung ayahnya Maruko. Namun apa daya semangat tinggal lah semangat untuk mengusir calon penjajah itu, tidak dibarengi dengan kemampaun berperang.

Usaha pengusiran Bangsa Belanda itu pun gagal total, bahkan ayahnya Maruko mati disiksa Belanda kemudian istrinya Supani terkena peluru dari pasukan VOC itu. Gagalnya usaha perlawanan mereka dibayar tunai dengan diusirnya mereka dari tanah kelahirannya Pulau Lontor. Setengah penduduk pun berkurang. Mulailah masa kegelapan datang, seluruh tanah milik pemberontak itupun diambil oleh Bangsa Belanda.

Sebenarnya adik ibunda Tambera, Swamin sudah mengingatkan kepada kepala kampung Imbata untuk berhati-hati dalam menjalin kerjasama dengan pihak asing. Namun peringatan itu dienyahkan hanya demi kepentingan keuntungan semata dan Swamin pun meninggalkan rumah Imbata karene ketidaksetujuan itu.

Di satu sisi Tambera, tengah jatuh hati dengan Noni Belanda, Clara yang tidak lain kemenakan dari Van Speult. Tambera ini merindukan teman setelah adik sepupunya atau anak Swamin, Wadela pergi meninggalkan rumahnya. Benar-benar kesepian menyergap hatinya tidak ada lagi yang mengajak dirinya bermain di pantai atau di Lembah Kubala yang letaknya di Lereng Gunung Badera sebelah selatan itu.

Dirinya berjalan-jalan seorang diri tiada peduli dengan rekan-rekan usianya. Ditambah dengan sikap ayahnya yang keras dan menginginkan dirinya untuk membantu bekerja dan menjadi pengganti dirinya sebagai kepala kampung. Namun harapan kerinduan seorang teman, muncul tatkala muncul sosok Clara yang datang dari Negeri Belanda ke pulau itu untuk mengikuti sang paman, Tuan Van Speult.

Clara pun mengajarkan cara membaca hingga mengumpulkan energi antara cinta dan keingintahuan akan ilmu pengetahuan. Kesemuanya itu berkumpul menjadi satu. Meski ditentang oleh ibunya, Wubani beserta warga kampungnya karena Clara dianggap makluk halus yang akan membawa kesengsaraan terhadap warga pulau itu.

Tambera pun bersikeras untuk dekat dengan Clara sampai-sampai akhirnya memutuskan ingin bergabung dengan tentara VOC. Dia pun tinggal di benteng itu. Dari sanalah lahir, konflik dimana sang ibu sangat khawatir dengan anaknya yang menjadi target untuk dienyahkan oleh Kawista cs.

Yang pada akhirnya, sang ibu Wubani meninggal karena kerisauan hatinya terhadap anak tunggalnya itu. Hati Tambera tidak sedikitpun tergerak sampai ajal menjemput ibunya itu, ia tetap tinggal di benteng itu. Saat warga kampung itu melakukan perlawanan, Tambera sudah tertawan hatinya kepada Clara.

"Maka biarlah penduduk pulau benci kepadaku biarlah aku kini tiada beribu, biarlah bapakku merosot derajatnya, biarkan sebagian dari penduduk pulau dinyahkan dari pulau Lontor, ya biarlah! Asal aku dapat memandang semuanya itu dengan menggunakan pikiran," pikir Tambera.

Ya Tambera lebih memilih Clara meski hati kecilnya pun mencintai warga Pulau Lontor.



Siapa Utuy Tatang Sontani

Pesan teramat dalam dari novel 327 halaman itu adalah meski kita banyak belajar ilmu modern dari Bangsa Barat tapi tetap jangan lupakan kecintaan akan bangsanya sendiri. Tentunya realitas itu masih layak menjadi gambaran Bangsa Indonesia saat ini.

Seperti layaknya sastrawan tahun 1940-an, penyajian ceritanya sangat padat bahkan lebih mengedepankan kejiwaan dengan penggambaran secara dramatik sehingga pembaca akan masuk ke dalam imajinasi masa lalu. Dengan suasana pantai nan aduhai dan rakyatnya yang penuh gotong royong dan selalu mengedepankan mufakat yang merupakan nilai-nilai dari nenek moyang Bangsa Indonesia. Demokrasi ala Indonesia.

Gambaran kemiskinan masyarakat setempat pun diangkat dalam kisah itu meski ada menikmati kekayaan dari hasil hubungan dengan Bangsa Belanda itu. Yang tidak kalah pentingnya, penulis memberikan gambaran ending cerita yang tidak menggantung alias diakhiri dengan kepedihan yang tentunya tidak diharapkan oleh si pembaca.

Siapakah Utuy Tatang Sontani? itu nama yang asing saat ini. Asing bagi generasi pasca G30SPKI karena karya-karyanya dilenyapkan begitu saja mengingat dirinya pernah bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disebut-sebut sebagai Onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Padahal karya sastrawan besar ini yang lahir di Cianjur, Jawa Barat, 13 Mei 1920 dan meninggal di Moskow, saat itu Uni Soviet pada 17 September 1979 tersebut, pada era 1950-an banyak dibaca dan dipentaskan di sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi.

"Karya-karya Utuy Tatang Sontani sejak 1950-an telah dibaca dan dipentaskan di sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi kita, terhenti demikian lama, kini akan muncul kembali seperti sedia kala," kata sastrawan Taufiq Ismail dalam kata pengantar buku karya sastra tersebut.

Dalam kata pengantar itu, Taufiq Ismail menyatakan zaman terus berganti ke arah yang lebih cerah. Dalam peralihan zaman ini, karya-karya sastrawan yang terlarang dulu dapat diterbitkan kembali. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Balai Pustaka yang sejak tahun 1950-an banyak menerbitkan karya Utuy Tatang Sontani, sebelum pengarang ini bergabung dengan Lekra.

"Saat ini masyarakat mendapatkan kesempatan dan kebebasan menikmati karya-karya besar Utuy Tatang Sontani," katanya.

Nah tertarikkah membaca karya sastra Utung Tatang Sontani yang berlatarbelakangkan masa awal kegelapan Bangsa Indonesia?, sila membacanya.

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017