Surabaya (ANTARA News) - Indonesian Civil Rights Watch (ICRW) menilai sistem pengelolaan SMA/SMK Negeri di Jawa Timur pada 2017 buruk sehingga berpotensi memicu terjadinya pungutan liar di sekolah-sekolah.

"Pada 2017 ini menjadi tahun berat dan penuh ketidakpastian bagi para orang tua yang menginginkan putera-puterinya melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan SMK Negeri," kata Kepala Advokasi ICRW, Didik Prasetiyono dalam siaran persnya di Surabaya, Jumat.

Menurut dia, persoalan tersebut muncul dari kebijakan pemerintah sesuai Undang-Undang (UU) 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam Sub-Urusan Manajemen Pendidikan.

Ia mengatakan konsekuensi penerapan UU 23/2014 menjadi momentum peralihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.

Dalam UU tersebut, lanjut dia, pemerintah provinsi hanya diberi peran sebagai koordinator, sedangkan kabupaten/kota diberi kewenangan mengelola pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar yang mencakup SD hingga SMP, dan jenjang pendidikan SMA/SMK.

Sementara pelaksanaan seleksi penerimaan siswa yang dikenal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMA/ SMK yang saat ini diselenggarakan oleh provinsi menuai kontroversi dengan berganti-gantinya kebijakan.

Didik mencontohkan seperti misalnya tentang pengumuman pemberlakuan zonasi yang terjadi di Jawa Timur. Kemudian pengumuman penambahan nilai 12,5 bagi siswa yang berdomisili di zonasi dan penambahan hari bebas zonasi yang terkesan tanpa perencanaan matang serta mudah sekali berubah-ubah.

"Hal ini tampak terjadi merata di hampir semua provinsi di Indonesia. Transparansi dan sosialisasi proses penerimaan siswa baru SMA/ SMK yang buruk ini menyebabkan terjadinya gejolak di masyarakat," ujarnya.

Selain itu, juga memicu persepsi peluang permainan dan negosiasi atau jalan belakang penerimaan siswa baru oleh oknum-oknum tertentu. Memperhatikan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang dimuat di Website Kemendikbud http://npd.data.kemdikbud.go.id/file/pdf/2016/050000.pdf, bahwa alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Jawa Timur, hanya 1,7 persen atau sekitar Rp300,34 miliar dari total APBD Jawa Timur.

Angka ini, menurut Didik, sangat jauh dibandingkan dengan amanat UUD 1945 yang sebesar minimal 20 persen. "Sumber Biro PKLN 2016, memperlihatkan posisi Jawa Timur di urutan terbawah nomer dua sebelum Papua dalam melakukan kebijakan politik anggaran," katanya.

Rendahnya komitmen politik anggaran pendidikan ini membuat alokasi untuk pembiayaan perbaikan infrastruktur, pembiayaan peningkatan mutu guru/pengajar, pembiayaan subsidi SMA/ SMK akan turun dan terganggu.

Khususnya kabupaten/kota yang selama ini telah mampu secara mandiri, mengalokasikan anggaran pendidikan lebih besar dari alokasi yang bisa disediakan oleh pemerintah provinsi.

Rendahnya alokasi anggaran pendidikan di Jawa Timur ini, kata Didik, juga akan membuka peluang bagi sekolah untuk melakukan berbagai pungutan, yang pada akhirnya menyebabkan biaya sekolah tinggi dan potensi memicu tingginya angka putus sekolah.

Didik juga mengatakan persoalan pendidikan sebagai imbas penerapan UU 23/2014 ini, memang sempat dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hingga saat ini, permohonan peninjaun kembali (PK) terhadap UU 23/2014 di MK tentang pemindahan kewenangan belum diputus.

"Register permohonan di MK, terdaftar di Perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016 dan Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 masih menunggu putusan majelis sidang," katanya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017