Jakarta (ANTARA News) - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Marwan Jafar, mengatakan terdapat sejumlah hambatan penerapaan UU 6/2014 tentang Desa.

"Banyak hambatan penerapan UU Desa. Pertama, adanya perbedaan penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses penerapan dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat UU," ujar Marwan di Jakarta, Kamis.

Kedua, di tingkat pemerintahan desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa.

Dana desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat, belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.

"Penggunaan dana desa masih melakukan replikasi atas, "village project" sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur," jelas dia.

Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi desa masih menghadapi kendala praktek administratif. Aparatur pemerintah daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari pusat untuk mengendalikan pemerintah desa, termasuk dalam hal penggunaan dana desa.

Padahal UU Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.

"Demokratisasi desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa.Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapatberperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka," terang dia.

Permasalahan keempat, lanjut Menteri Marwan, adalah masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa.

Masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.

Kelima, praktik pelaksanaan musyawarah desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.

"Persoalan terakhir adalah tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola "top-down". Hal ini tidak jarang menyebabkan desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi desa," papar dia.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015