Jakarta (ANTARA News) - Sejak pagi, sekumpulan perempuan Dusun Nyiurbaye Gawah Desa Batu Mekar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat sudah berkumpul di sebuah toko kerajinan bernama Mawar seraya bergegas menganyam kerajinan dari tumbuhan liar bernama ketak.

Para perempuan tersebut mengaku tidak kesulitan mempelajari cara menganyam ketak menjadi berbagai bentuk seperti tatakan gelas, tas perempuan, tempat perhiasan hingga pajangan rumah berupa gentong besar atau meja hias, karena telah terbiasa melihat orang tua mereka melakukannya.

"Memang perlu belajar, tapi tidak terlalu lama, karena kami melakukannya turun temurun dari nenek moyang kami," kata salah seorang pengrajin ketak Sarah (23).

Menurut ibu satu anak itu, pengrajin lainnya mendapatkan komisi Rp7.000-Rp100.000 untuk satu desain yang mereka kerjakan. Komisi terendah diberikan untuk sebuah anyaman ketak berupa tatakan gelas dan komisi tertinggi untuk gentong besar.



Adapun satu hari, Sarah dan kawan-kawan bisa menghasilkan dua hingga empat tatakan gelas, namun untuk satu gentong besar, Sarah kerap membutuhkan waktu hingga tiga atau empat hari.

"Sebulan komisi kami tidak tentu, kalau rajin bisa sampai sejuta, tapi kalau biasa-biasa saja Rp500.000 hingga Rp600.000 per bulan," ujar Sarah.

Menganyam ketak
Bahan baku ketak, yang berasal dari tumbuhan liar di hutan Nusa Tenggara Barat (NTB) relatif sangat mudah didapat, karena pemerintah telah membudidayakan 25 hektar hutan ketak untuk dimanfaatkan warga.

Hartono, pemilik Toko Kerajinan Mawar mengaku tidak memiliki masalah dalam memperoleh bahan baku, karena ia bisa mendapatkan ketak yang siap panen dari hutan tersebut, yakni ketak tua dan setengah tua.

"Ketak yang tua itu digunakan sebagai tulang anyaman dan yang setengah matang untuk anyaman luar," kata Hartono.

Ia menjelaskan, setelah mendapatkan bahan baku ketak yang diinginkan, kemudian ketak yang berbentuk seperti akar memanjang tersebut dibelah-belah menjadi beberapa bagian, kemudian dijemur dan dipecah-pecah sesuai kebutuhan.

Setelah itu, lanjutnya, ketak diangkat dan dihaluskan teksturnya, untuk kemudian dapat dibentuk sesuai desain yang diinginkan seperti tas, tempat tisu, tudung saji atau nampan.

Usai dianyam, hasil kerajinan ketak tersebut dijemur selama dua hingga tiga hari, kemudian dioven dalam jangka waktu yang sama untuk mendapatkan warna alami ketak itu sendiri.

"Terakhir, dibersihkan dan diberi hiasan kain di bagian dalam tas. kami tidak menggunakan pewarna kimia. Oven itu metode pewarnaan dengan pengasapan," kata Hartono.

Setelah menjadi berbagai kerajinan yang cantik dan menarik, Hartono mulai memasarkan produk-produk yang dinilai lebih kuat dan awet dari rotan tersebut ke  dalam dan luar negeri.

Dijual dengan harga mulai Rp5.000 hingga Rp10 juta, ibu Kota Jakarta menjadi salah satu pasar tujuan kerajinan ketak tersebut dijual, disamping beberapa negara tujuan ekspor.

"Kami punya pelanggan dari  Amerika, Australia, Kanada, Belanda dan yang paling banyak permintaan saat ini adalah Jepang," kata Hartono.

Permintaan yang membeludak dari Jepang tersebut belum mampu dipenuhi toko Hartono 100 persen, karena dari 10.000 pesanan produk kerajinan ketak, Hartono hanya mampu menyediakan sekitar 3.000 hingga 4.000 buah.

"Kami kekurangan pengrajin. Pengrajin yang ada saat inipun masih banyak yang belum bisa membuat sejumlah desain yang dipesan pihak Jepang," ujar Hartono.

Ia berharap, pembinaan dan peningkatan kesejahteraan para pengrajin bisa ditingkatkan, sehingga semakin banyak pengrajin mumpuni yang bisa memenuhi permintaan pasar ekspor, sekaligus guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pekerjaan rumah Disperindag NTB
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB Husni Fahri mengatakan, kerajinan ketak merupakan Industri Kecil Menengah (IKM) potensial di Provinsi NTB, di mana jumlahnya mencapai sekitar 200 IKM yang tersebar di Lombok Tengah dan Lombok Timur.

"Kerajinan ketak potensial karena pertama ini turun temurun, kedua kami punya bahan bakunya dan ketiga produk kerajinan ini diminati tidak hanya di dalam negeri, tapi juga mancanegara," ujar Husni.

Namun, lanjut Husni, kerajinan ini masih perlu didukung agar bisa semakin maju dan mensejahterakan, misalnya dari sisi teknologi.

Saat ini, para pengrajin hanya menggunakan sendok yang dibengkokkan untuk menahan anyaman, pusut untuk membolongi kaleng yang digunakan untuk menghaluskan ketak yang sudah dibelah-belah dan gunting kuku untuk memotong untaian-untaian ketak yang berlebih.

"Teknologinya belum maju. Polanya juga jarang. Walaupun sudah bintang empat, tapi belum maksimal. Modal perlu ditambah, akses pasar perlu dikembangkan dan manajemennya harus ditingkatkan," ujar Husni.

Terkait kesejahteraan pengrajin ketak, Husni ingin agar para pengrajin mendapatkan penghasilan minimal sesuai dengan Upah Minimum Provinsi, yakni sekitar Rp1,2 juta hingga Rp1,3 juta per bulan.

Ia berencana untuk membuat sebuah asosiasi pengrajin ketak, yang kemudian bisa menjadi ajang komunikasi, pelatihan, serta peningkatan mutu dan kualitas para pengrajin, sehingga pendapatan mereka bisa bertambah.

"Ini memang masih menjadi PR kami. Kami akan berusaha agar pendapatan mereka bisa sesuai dengan UMP di NTB," kata Husni.

Kecintaan para pengrajin ketak kepada budaya nenek moyang mereka kerap menjadikan mereka tidak terlalu memikirkan pendapatan yang diperoleh, sehingga anyaman yang nilainya jutaan rupiah tersebut masih belum sebanding dengan recehan yang mereka terima setiap harinya.



Oleh Sella Panduarsa Gareta
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015