Yogyakarta (ANTARA News) - Berapa sebenarnya usia jamu, ratusan ataukah ribuan tahun? Pertanyaan ini mungkin belum terjawab hingga sekarang.

Namun, yang jelas ramuan kesehatan yang kini mulai banyak dirasionalisasi ini disebut oleh koordinator dokter Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus Danang Ardiyanto sebagai ramuan berkhasiat dengan formulasi cantik.

"Formula yang ada sekarang tidak tiba-tiba turun dari langit karena nenek moyang kita sudah menggunakannya sebagai obat. Setelah mulai diteliti di laboratorium, ada rasionalisasi," kata Danang kepada beberapa wartawan di Kantor Diklat Balai Besar Pelatihan dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu, Jawa Tengah.

Pada formula jamu antihipertensi yang sudah teruji klinis, formulasi seledri yang memiliki zat apigenin dapat memperlebar pembulu darah, kumis kucing dapat memperlancar air seni, pegagan dapat memperlancar pembuluh darah, temu lawak untuk meningkatkan kesegaran dan melindungi fungsi hati, sedangkan meniran mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

"Ternyata semua itu menjadi satu sinergi yang sangat sistematis dan cantik. Nenek moyang sudah pakai formula ini dan ternyata setelah dirasionalisasi sangat bermanfaat dan logis, dan telah dibuktikan melalui uji klinik," ujar dia.

Pada formula jamu asam urat yang telah teruji klinis, formulasi secang yang mampu menghambat asam urat bersama daun kepel, dan perpaduan temu lawak, kunyit, dan meniran yang bermanfaat meningkatkan daya tahan dan kesegaran tubuh tentu juga tidak kebetulan tercipta.

"Itu dua formula jamu yang sudah teruji klinis, ada tiga lagi yang baru untuk osteoartritis, haemorroid (wasir), dan dispepsia (maag). Masih ada ribuan formula jamu yang antre perlu diteliti," kata Danang.

Peneliti senior B2P2TOOT Yuli Widiyastuti mengatakan bahwa penelitian jamu lebih mementingkan respons pasien bukan aktivitas zat yang terjadi dalam tubuh. Berbeda dengan obat-obat konvensional yang selalu dilihat reaksinya di dalam tubuh pasien.

"Kala kita mau meneliti aktivitas jamu dalam tubuh tidak tahu akan memakan waktu berapa lama, mungkin 100 tahun juga belum bisa. Pasalnya, dalam satu tanaman obat yang digunakan untuk campuran jamu, bisa mengandung 100 atau 200 zat aktif yang kita tidak ngerti daya kerjanya bagimana," ujar Yuli.

Ia mencontohkan kurkuma pada temu lawak yang diminum seorang pasien belum tentu zat kurkuminnya ada di dalam tubuh pasien tersebut saat dilakukan pengecekan darah. Akan tetapi, zat tersebut tetap bekerja di dalam tubuh pasien dengan baik.

"Itu ajaibnya jamu," kata Yuli.


Menjaga Khasiat Jamu


Kepala Badan Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Indah Indah Yuning Prapti mengatakan bahwa tanaman sebagai bahan baku jamu untuk resep dokter di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus, Tawangmangu, Jawa Tengah, juga harus terstandar.

"Kami menerima dari petani binaan pun bahan bakunya harus terstandar. Misalnya, petani Boyolali panen puluhan ton temu lawak, setelah sampelnya diteliti di sini, kurkuminnya hanya 1,1 persen, sedangkan di sini harus 1,5 persen. Oleh karena itu, minta maaf, ya, tidak bisa diterima," kata Indah.

Di B2P2TOOT, kata dia, juga memiliki laboratorium benih. Di tempat ini diteliti juga bagaimana penyimpanan benih sehingga dapat tumbuh dengan baik.

Standarisasi bahan baku pembuatan jamu yang berkualitas dan berkhasiat juga diperhatikan saat panen hingga pascapanen. Cara memotong tanaman, perubahan bentuk, pengemasan seperti apa, suhu kamar tempat penyimpanan juga diperhatikan.

"Itu alasan kenapa kita butuh teknologi pertanian. Mulai pembenihan sudah harus terstandar, bagaimana menyimpan benih agar tidak rusak juga ada caranya, terkadang sangat teknis sangat detail," ujar dia.

Lebih lanjut, Yuli menjelaskan bahwa standarisasi jamu mengacu pada suatu material yang diberikan sebagai bahan pengobatan dan harus tetap dari waktu ke waktu meskipun sebenarnya sangat sulit distandarisasi karena sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

"Panenan pada bulan Januari pasti akan berbeda dengan Agustus. Maka, upaya standarisasi itu dimulai dari bibit atau benih yang berasal dari seleksi plasma nutfah yang bisa stabil senyawa aktif dan produktivitasnya dalam rentang waktu dan ekologi yang beragam sehingga bisa menghasilkan produk simplisia yang standar," ujar dia.

Pola budi daya yang diberikan pun harus mengacu standar budi daya obat yang baku untuk menjaga seperti, sinensetin yang ada di kumis kucing, apigenin yang ada dalam seledri, kadar kurkumin yang ada dalam temu lawak maupun kunyit harus masuk ke dalam standar, tidak bisa terpaku dalam satu angka, harus jarak.

"Misalnya, kadar kurkumin tidak boleh kurang dari 1,8 persen. Artinya, boleh lebih dari itu, tetapi tidak boleh kurang dari itu karena khasiatnya juga akan berkurang," ujar dia.

Zonasi tempat tumbuhan obat ditanam memang menjadi perhatian, dan di B2P2TOOT di bagi dalam beberapa ketinggian karena lingkungan tanam obat harus benar-benar sesuai. Itu alasan kebun tanaman obat sebagai stasiun riset B2P2TOOT ada di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut (mdpl), 1200 mdpl, 800 mdpl, dan 180--200 mdpl.

Saintifikasi Jamu

Direktur Medik dan Keperawatan RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro Djoko Windoyo mengatakan bahwa salah satu kendala yang sering dihadapi untuk menggiatkan penggunaan obat herbal atau jamu selain karena tidak ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena masih ada dokter yang "alergi" terhadap jamu mengingat belum semua ada bukti ilmiah.

"Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri masih belum 100 persen setuju (dengan obat herbal). Langkah yang dilakukan RSUP Dr. Soeradji di Klaten, ya, mendorong integrasi obat herbal, kebanyakan dokter rawat jalan dan oertopedi yang merujukkan ke pelayanan saintifikasi jamu di Poliklinik Rosela," ujar dia.

Meski integrasi obat herbal atau jamu memang masih sulit, dia meyakini jumlahnya akan meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah jamu yang tersaintifikasi.

Untuk mencari formula yang menghasilkan satu jamu yang berkhasiat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, dokter-dokter di sana melakukan serangkaian uji ilmiah.

"Mulai dari uji praklinik yang terbagi dari uji kepemanfaatan, uji keamanan, hingga uji khasiatnya dilakukan sebelum uji klinik dilakukan," ujar dokter Danang.

Tahapan uji praklinik dikakukan ke hewan coba untuk mengetahui bagaimana formula tersebut bekerja. Jika sudah diketahui khasiatnya, baru aktivitasnya diberikan kepada manusia.

Uji klinik jamu di Tawangmangu, kata dia, melibatkan relatif banyak dokter yang sudah menjadi jejaring dari Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus. Saat ini sudah ada lebih dari 280 dokter saintifikasi jamu dari 14 angkatan. Dari jumlah itu, sebanyak 11 angkatan dokter dibiayai APBN, sedangkan tiga angkatan dibiayai pihak swasta.

Mereka yang, menurut Danang, menjadi jejaring Klinik Hortus Medicus dan dilibatkan saat misalnya klinik akan menguji formula jamu untuk hipertensi atau jamu lainnya. Jika bukti-bukti sudah terkumpul banyak, akan disimpulkan dan dilihat bukti manfaatnya baru hasilnya diberikan rekomendasi ke Komisi Saintifikasi Jamu.

"Komisi Saintifikasi Jamu itu terdiri atas pakar, budayawan, dan dosen-dosen bahkan juga ada dari luar negeri. Mereka yang akan menyidang apakah jamu tersebut lulus atau tidak uji klinis," ujar dia.

Untuk uji klinik, menurut dia, memang ada hitungan tersendiri dan sangat bergantung pada prevalensi penyakit. "Kalau hipertensi, berarti subjeknya harus lebih banyak. Maka, tiap formula berbeda jumlah sampelnya," katanya.

Selain itu, dia mengatakan bahwa pada uji klinik jamu "response outcome" pasien juga dilihat oleh para dokter. Tidak hanya dari segi kebugaran fisik, tetapi faktor emosional dan sosial pasien ikut dilihat.

"Kekhasan jamu itu bukan untuk sekadar menurunkan tensi saja. Bisa saja dia masih pusing karena tidak nyaman atau tidak nyenyak tidur. Maka, kualitas hidup dimasukkan dalam penelitian kami," ujar Danang.

Multicenter untuk uji klinis jamu juga diterapkan karena setiap wilayah subjeknya memiliki pola hidup, usia, atau berat tubuh berbeda-beda.

"Saya minum jamu hipertensi itu mungkin pengaruhnya akan berbeda dengan yang lain. Maka, perlu banyak subjek dengan wilayah cakupan lebih luas. Harapannya ini akan mengurangi bias atau error," kata Yuli.

(V002)




Oleh Virna P Setyorini
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015