Jakarta (ANTARA News) - Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham menyatakan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) perlu diperbaiki dengan mempertimbangkan kajian ilmiah dan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Menurut Supiandi di Jakarta Selasa, salah satu ketentuan yang perlu direvisi adalah soal pembatasan muka air paling rendah 0,4 meter.

"Ketentuan itu sangat rancu karena bergantung pada curah hujan. Sulit untuk menetapkan ketinggian muka air secara mutlak," katanya pada seminar gambut yang diselenggarakan LIPI dan Universitas Kyoto Jepang.

Menurut dia, seharusnya penetapan ketinggian ditetapkan secara kisaran (range) agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.

Pengukuran kedalaman juga dengan menggunakan data pada beberapa titik dan diambil nilai rata-ratanya, selain itu harus dilakukan pada musim panas dan musim kering agar hasilnya akurat.

Pakar gambut lainnya, Azwar Maas, juga menegaskan, yang terpenting dalam pengelolaan gambut sebenarnya bukanlah soal tinggi rendahnya muka air, melainkan kepastian gambut tetap terjaga kelembabannya.

"Gambut yang lembab mencegah dari kebakaran," katanya.

Azwar juga menyatakan lahan gambut yang dalam sebenarnya masih bisa dimanfaatkan tergantung sejumlah faktor seperti lokasi, jenis komoditas, dan pengelolaannya.

Dia mencontohkan kegiatan budidaya padi di Tembilahan, Sumatera Selatan yang tetap produktif meski di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 10 meter.

Azwar menekankan pentingnya menjaga ekosistem gambut agar tetap berkelanjutan.

Hentikan kegiatan

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna mengatakan jika PP tentang Gambut diterapkan maka semua HTI gambut secara otomatis akan menghentikan kegiatannya.

Potensi kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar mencapai Rp103 Triliun per daur tanam selain itu kematian juga mengancam industri hilir pengguna bahan baku kayu HTI sehingga terjadi PHK besar-besaran.

Nana menyebutkan, saat ini HTI yang terhenti operasionalnya karena berbagai kendala ekonomi seperti konflik lahan, regulasi tumpang tindih termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan.

Ia memprediksi dengan berlakunya RPP gambut, HTI yang aktif akan berkurang lagi, menjadi 27 persen dari 45 persen yang kini aktif karena 60 persen dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut.

"Lalu ada kerugian dari devisa yang hilang bersumber dari pendapatan pulp dan kertas sebesar 5,4 miliar dolar AS per tahun dari total produksi 16,8 juta ton, yang selama ini memanfaatkan bahan baku dari HTI. Akan terjadi PHK besar-besaran, sekitar 300.000 tenaga kerja langsung di sektor ini," jelasnya.

PP Gambut memang menuai protes dari banyak kalangan karena prosesnya yang tidak transparan. Sampai saat ini dokumen resmi PP Gambut belum dikeluarkan pemerintah .

Kepala Sub Bidang Ekosistem Rawa Gambut Kementerian Lingkungan Hidup Huda Achsani memastikan PP Gambut sudah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Namun sepertinya belum diundangkan," katanya sembari menambahkan pihaknya belum memegang dokumen PP gambut.

Pewarta: Subagyo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014