Jakarta (ANTARA) - Galeri Nasional Indonesia memproduksi film dokumenter tokoh seni rupa Indonesia Heri Dono dengan judul “HERIDONOLOGY” yang akan tayang pada 2 Januari 2022 pukul 21.00 WIB di Kanal Budaya Indonesiana.

"HERIDONOLOGY” yang disutradarai oleh Reza Fahri ini mengisahkan tentang Heri Dono, sosoknya, karya-karyanya, perjalanan keseniannya, hingga mimpi-mimpinya. Kisah Heri Dono selain diungkapkan secara langsung oleh sang seniman sendiri, juga dinarasikan oleh tokoh-tokoh yang terkait dengan Heri Dono.

Termasuk diantaranya adalah sang ibu, Suwarni, kurator seni rupa Jim Supangkat, seniman dan pendiri Rumah Seni Cemeti Nindityo Adipurnomo, Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto dan Manajer Studio Kalahan Agni Saraswati.

Kehebatan Heri Dono dalam berkarya diakui Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto.

“Heri Dono sidik jarinya ketemu. Begitu melihat karyanya, ‘Wah, ini pasti karya Heri Dono!’ Karena itu di Galeri Nasional Indonesia, kami tempatkan Heri Dono menjadi bagian yang penting dalam eranya,” ucap Pustanto dikutip dari siaran resmi, Minggu.

Melalui produksi film “HERIDONOLOGY”, Pustanto berharap film ini bukan hanya jadi film yang layak untuk ditonton, tapi tayangan yang sarat narasi edukatif untuk mengenal lebih dekat sosok Heri Dono sebagai perupa hebat Indonesia yang berperan penting dalam merintis dan mengembangkan seni rupa kontemporer di negeri ini.

Baca juga: Tiga seniman Indonesia juara Tokyo Light Festival 2021  

Baca juga: Lima karya seni ISI Yogyakarta dipajang di pameran Shanghai


Selain itu, Pustanto berharap semoga publik dapat mengambil inspirasi baik dari sajian ketokohan, karya-karya, maupun perjalanan kesenian Heri Dono.

Seniman kelahiran Jakarta, 12 Juni 1960 adalah seniman kontemporer asal Yogyakarta yang menjadi seniman Indonesia pertama yang sukses menembus art scene global di awal tahun 90-an. Mengawali kariernya di tahun 80-an, Heri Dono dikenal dengan karya instalasi kontemporer yang banyak terinspirasi dari wayang.

Ia berusaha memasukkan elemen kompleks dalam pertunjukan wayang berupa visual, mantra, suara, storytelling, kritik sosial, humor, dan mitos berisi filosofi kehidupan.

Komponen tersebut ia gabungkan dalam narasi karya-karyanya melalui penambahan elemen multimedia. Karya kreatifnya mengungkapkan ketertarikan Heri Dono dalam merevitalisasi seni yang berakar pada tradisi Indonesia.

Pada banyak karya instalasi dan pertunjukannya, Heri Dono juga menggunakan “performativity” dan potensi interaktif yang membuat karya-karyanya terlibat dalam dialog komplementer dengan audiens.

Dalam karya lukisnya, ia banyak mengangkat deformasi liar dan fantasi gaya bebas yang berasal dari karakter dan kisah wayang. Kemudian ia menambahkan pengetahuan dan ketertarikannya pada kartun anak-anak, film animasi, dan komik. Kanvas Heri Dono selalu dipenuhi karakter menakjubkan dengan cerita yang fantastis sekaligus abstrak.

Heri Dono telah berpartisipasi pada lebih dari 300 pameran dan 35 bienial internasional, termasuk São Paolo Biennial (1996 dan 2004), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), Havana Biennial (2000), Yokohama Triennial (2001), Asia Pacific Triennial (1993 dan 2002), Venice Biennale (2003), Taipei Biennial (2004), Sharjah Biennial (2005), Gwangju Biennale (1995 dan 2006), Guangzhou Triennial (2011), the 50th Venice Biennale in the Arsenale's Zone of Urgency (2003), the 56th Venice Biennale: Voyage-Trokomod, (2015), Bangkok Art Biennale (2018), dan Kochi-Muziris Biennale (2018).

Ia juga pernah meraih sejumlah penghargaan yakni Dutch Prince Clause Award for Culture and Development (1998); UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia (2014).

Saat pandemi melanda, Heri Dono tetap aktif berkarya. Ia menggelar pameran tunggal edisi COVID-19 berkolaborasi dengan Galeri Tirtodipuran Link bernama "Kala Kali Incognito" selama tiga bulan lamanya mulai akhir 2020 hingga awal 2021.
Seniman Heri Dono di film dokumenter Heridonology. ANTARA/HO-Galeri Nasional/aa.

Menanggapi film dokumenter yang mengisahkan dirinya, Heri Dono mengatakan dirinya merasa tersanjung dijadikan tokoh seniman seni rupa di dalam pembuatan film dokumenter yang dikerjakan oleh tim Galeri Nasional Indonesia.

"Saya berharap film dokumenter ini dapat memberikan gambaran lebih utuh mengenai sosok dan kerja kesenimanan di dalam memproduksi karya-karyanya, juga produksi-produksi pemikirannya. Saya juga berharap produksi film dokumenter ini menjadi sumbangsih bagi fenomena dan diskursus seni kontemporer Indonesia untuk lebih dapat dipahami bagi masyarakat di Indonesia maupun di mancanegara.

Suwarni, sang ibunda, menceritakan masa kecil putranya yang gemar menggunting gambar dari majalah dan koran, kemudian menempelkannya di tembok.

Menurut Suwarni, bakat melukis Heri Dono mulai tampak saat SMP. Sebagai orang tua, Suwarni dan ayah Heri Dono mendukung dengan menyediakan cat untuk Heri Dono untuk menggambar.

Kemampuan melukis Heri Dono semakin diasah dengan menempuh pendidikan di STSRI “ASRI”. Teman sekampusnya, Nindityo Adipurnomo menceritakan, “Pentingnya karya Heri Dono yang kemudian mengundang perhatian saya adalah karena Heri Dono membuat karya yang selalu tidak disukai dosen.”

Kendati demikian, menurut Jim Supangkat, pada tahun 1980-an, walaupun istilah seni rupa kontemporer belum dikenal di Indonesia, karya Heri Dono sudah kontemporer seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

“Heri Dono termasuk seniman yang tidak laku, tidak sehebat sejumlah seniman lainnya yang laku di Indonesia. Tapi tidak ada yang berani menyangkal posisi dia di Indonesia karena reputasi internasionalnya. Dia terkenal di antara sejumlah seniman-seniman yang ngetop, tetapi dalam kedudukannya, Heri Dono tidak bisa ditawar,” ungkap Jim.

Selain hebat dalam berkarya, Heri Dono juga menjadi sosok yang inspiratif. “Sebagai seorang seniman, Heri Dono mempunyai etos kerja yang sangat tinggi karena ia bekerja berdasarkan passion-nya. Ia juga mempunyai etos kerja yang sangat disiplin dengan waktu yang sangat padat,” kata Agni Saraswati.

Baca juga: Menyelami seniman Heri Dono, hadirkan satire lewat sentuhan budaya

Baca juga: 100 kartunis Indonesia bertemu di Borobudur

Baca juga: Heri Dono "serang balik" kolonialisasi lewat seni

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022