Jakarta (ANTARA) - Penghujung tahun 2021, Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri membuat terobosan dalam memperkuat upaya Pemerintah Indonesia perang terhadap narkoba dengan mengoptimalkan penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada bandar.

Selama kurun waktu 2021 ini, Dittipidnarkoba Polri menerapkan pasal TPPU terhadap lima kasus narkoba yang ditangani oleh Mabes Polri, jumlah ini meningkat 400 persen dibandingkan dengan tahun 2020, dimana hanya ada satu perkara yang di-TPPU-kan.

Dari lima kasus narkoba yang dijerat TPPU, penyidik menetapkan 10 orang sebagai tersangka, jumlah tersebut meningkat 150 persen dibandingkan dengan tahun 2020, hanya ada empat tersangka bandar narkoba dimiskinkan dengan TPPU.

Yang khas dari penerapan TPPU ini, negara melalui Polri selaku penegak hukum melakukan penyitaan aset milik para tersangka, baik berupa uang tunai maupun tanah dan bangunan serta kendaraan mewah yang diperoleh dari uang hasil kejahatan.

Aset tersangka baik berupa uang maupun bangunan, tanah dan kendaraan yang disita oleh Penyidik Dittipidnarkoba Bareskrim Polri pada tahun 2020 sebesar Rp966.000.000, jumlah ini meningkat 35,28 persen dibandingkan dengan tahun 2021, yakni Rp341.804.998.583.

Dalam penyitaan aset tersangka TPPU tahun 2021 ini, penyidik menyita uang tunai berupa mata uang asing senilai 2 juta dolar Singapura, bila dikonversi dalam rupiah nominalnya sebesar Rp21 miliar.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno H Siregar mengatakan upaya penerapan TPPU pada kasus narkoba walau angkanya masih sedikit tapi akan terus dimaksimalkan tidak hanya ditingkat pusat, tetapi juga polda dan jajaran wilayah.

Untuk itu, tahun 2021 ini Mabes Polri telah menetapkan target kinerja bagi polda dan jajaran dalam rangka mengoptimalkan penerapan TPPU terhadap kasus narkoba di pusat dan wilayah.

Polri membagi 34 Direktorat Reserse Narkoba yang ada di polda seluruh Indonesia menjadi tiga wilayah dengan beban tugas berbeda, yakni wilayah sangat rawan, wilayah rawan dan kurang rawan.

Untuk wilayah polda yang sangat rawan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba ditetapkan setidaknya lima kasus baru narkoba yang di-TPPU-kan dalam satu tahun, sedangkan daerah rawan ada tiga kasus dan kurang rawan minimal dua kasus.

Mabes Polri pun memberlakukan evaluasi di akhir tahun terhadap polda-polda yang belum mengoptimalkan penerapan TPPU pada kasus narkoba di wilayahnya guna menelusuri kendala apa yang dihadapi polda jajaran dalam menindaklanjuti arahan pimpinan.

Akan ada tim asisten dari Mabes Polri yang diturunkan ke wilayah untuk menemukan bila ada kelemahan sumber daya kepolisian daerah dalam mengungkap TPPU pada kasus narkoba.

Namun, kata Krisno, kegiatan sosialisasi terus dilakukan, bahkan mengundang ahli ke direktorat narkoba atau reskrim narkoba agar memudahkan penyidik menemukan pelanggaran TPPU dalam kasus narkoba yang ditanganinya.

Bahkan Kabareskrim Polri mengeluarkan surat telegram yang bersifat penguatan kendali tentang penyidikan TPPU sebagai penyidikan lanjutan dari tindak pidana awal narkoba, dan akan dijadikan sebagai penilaian kinerja masing-masing direktur dan jajaran.

"Jadi manakala tidak mungkin (penyidikan TPPU), akan menjadi evaluasi," kata Krisno.

Efek jera

Penyidikan TPPU dalam kasus narkoba merupakan salah satu strategi yang mendunia yang ditiru oleh Dittipidnarkoba Bareskrim Polri dalam rangka memberantas kejahatan luar biasa atau "exstraordinary crime" narkoba.

Penerapan TPPU dalam kasus narkoba bukan barang baru, karena dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Wina tahun 1988 diperkenalkan bahwa pemiskinan atau penerapan anti pencucian uang yang pertama adalah kasus narkoba, kini menyusul TPPU diterapkan dalam tindak pidana lain seperti korupsi salah satunya.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sedikitnya ada 24 jenis kejahatan yang dapat di-TPPU-kan, narkoba salah satunya.

Uang adalah "darahnya" sindikat kejahatan narkoba. Pemenjaraan dinilai tidak memberikan penjeraan kepada para pelaku peredaran gelap dan penyalahguna narkoba, sehingga begitu bebas dari penjara akan kembali mengulangi perbuatannya. Tak ayal banyak residivis narkoba kembali ditangkap dan dipenjarakan.

Menurut Krisno, menyita kekayaan dan aset milik bandar narkoba, memiskinkannya para bandar salah satunya upaya penjeraan bagi para pelaku tindak pidana peredaran gelap dan penyalgunaan narkoba.

Namun upaya ini tentunya tidak mudah, contohnya satu dari lima kasus narkoba yang di TPPU-kan tahun 2021 ini merupakan kasus narkoba yang diungkap pada tahun 2002 lalu. Pelaku berinisial ARW (58) ditangkap oleh Polda Bali karena mengedarkan narkoba jenis ekstasi di tempat hiburan malam di Denpasar, kemudian dihukum penjara sampai 2005.

Kemudian, ARW bebas dan bekerja di tempat yang sama sebagai manajer tahun 2007. Pada tahun 2017, Dittipidnarkoba Bareskrim Polri menangkap ARW karena melakukan tindak pidana narkoba jenis ekstasi di tempat hiburan malam di Bali. Lalu divonis seumur hidup.

Dari hasil penyelidikan dan penyidikan terhadap dua kasus tersebut, Dittipidnarkoba Bareskrim polri mengembangkan kasus tersebut dengan menerapkan tindak pidana pencucian uang terhadap ARW dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2017.

Barang bukti yang disita dari tersangka berupa uang senilai Rp3,8 miliar dan sejumlah aset berupa tanah dan bangunan dengan nominal Rp294,9 miliar.

Krisno menyebutkan, di dalam dunia gelap narkoba, semakin tinggi posisi seseorang dalam jaringan narkoba, maka semakin kecil orang tersebut memegang barang bukti (narkoba). Oleh karena itu perlu upaya lebih untuk menelusuri barang bukti kejahatannya.

Untuk penerapan tindak pidana pencucian uang ini, penyidik tidak hanya fokus pada pelaku, tetapi juga penelusuran "follow the money". Dalam hal ini penyidik menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga intelijen keuangan.

"Polri menyadari bahwa penindakan narkoba tidak cukup hanya penyitaan barang bukti, tetapi harus ada strategi pemiskinan, sehingga upaya pemberantasan tersebut dapat maksimal yang pada akhirnya ini berkontribusi terhadap terwujudnya Indonesia bebas narkoba," tutur Krisno.

Rekening gendut bandar narkoba

Masyarakat sempat dikejutkan dengan hasil temuan penelusuran PPATK yang mengungkap adanya aliran dana sebesar Rp120 triliun yang berasal dari transaksi jaringan narkoba.

Temuan rekening gendut jaringan narkoba itu pernah diungkap oleh Direktur PPATK Dian Ediana Rae dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada Rabu (29/9) lalu.

Direktur Dian Ediana Rae dalam wawancara di Podcast edisi khusus menjawab 120 T yang diunggal di kanal YouTube milik PPATK pada Rabu (6/10), menyampaikan bahwa sebelum menyampaikan persoalan rekening Rp120 triliun tersebut ke DPR RI, telah memberikan informasi terkait itu kepada lembaga penegak hukum terkait.

Menurut dia, angka Rp120 triliun tersebut merupakan angka konservatif yang ditotalkan dari transaksi selama periode 2016 sampai dengan 2020.

Dalam kasus aliran dana Rp120 triliun tersebut melibatkan pihak yang terlapor, yakni melibatkan sejumlah orang dan sejumlah korporasi.

Totalnya ada 1.339 individu dan korporasi yang PPATK periksa dan catat sebagai aliran transaksi keuangan yang mencurigakan yang datang dari tindak pidana narkoba.

Munculnya rekening gendut jaringan narkoba tersebut dalam temuan PPATK tersebut menunjukkan betapa seriusnya persoalan terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terkait narkoba.

"Pengungkapan TPPU narkoba ini diharapkan akan memberikan efek jera kepada para pelaku, karena dengan pasal-pasal TPPU semua hasil kejahatan akan kita rampas semaksimal dan seoptimal mungkin sehingga menimbulkan efek jera yang besar bagi para pelaku maupun para kriminal yang melakukan tindak pidana kejahatan," papar Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pemberantasan PPATK Aris Priatno.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021