Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan penerimaan gratifikasi dapat menghambat objektivitas penyelenggara negara.

"Objektivitas dan keadilan atau "fairness, bisa terganggu karena adanya gratifikasi," kata Ghufron saat memberi sambutan dalam webinar "Pengendalian Gratifikasi: Mancabut Akar Korupsi" disiarkan kanal Youtube KPK, Selasa.

Ghufron menyatakan dalam pelayanan publik maupun penyelenggaraan pemerintahan, maka penerimaan gratifikasi perlu dihindarkan karena akan meruntuhkan keadilan.

"Pasal 12B berisi larangan menerima dalam penyelenggaraan pemerintahan, artinya bagi pejabat negara, tetapi bagi antarwarga boleh saja Anda dengan pacar Anda dengan mertua, itu tidak masalah, tetapi kalau kemudian ternyata pacar Anda adalah bupati, mertua Anda adalah Dirjen atau menteri, itu yang kemudian sudah diliputi aspek hukum gratifikasi," ucap Ghufron.

Baca juga: KPK masih pelajari vonis Nurdin Abdullah

Pada prinsipnya, kata dia, gratifikasi adalah suatu bentuk hadiah atau pemberian, baik barang uang ataupun jasa kepada penyelenggara negara. Oleh karena itu, ia mengatakan gratifikasi itu dianggap suap jika tidak dilaporkan selama 30 hari kerja.

"Tetapi kemudian kalau 30 hari kerja karena mendapat sesuatu baik di rumah di kantor ataupun di mana pun berada selama 30 hari kerja maka kemudian gratifikasi tersebut yang diasumsikan hukum sebagai suap karena iktikad baik Anda melaporkan, maka gugur statusnya sebagai suap," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Ghufron menyampaikan jumlah laporan gratifikasi kepada KPK selama tahun 2015 sampai September 2021 sebanyak 7.709 laporan dan yang ditetapkan menjadi milik negara sebanyak 6.310 laporan.

Baca juga: KPK panggil dua saksi kasus korupsi Bupati Hulu Sungai Utara

"Ini yang perlu kami sampaikan, statistik laporan gratifikasi yang masuk ada 7.709 laporan yang kemudian kami tetapkan menjadi milik negara 6.310 laporan. Sementara nilainya kalau diuangkan ada Rp171 miliar," ungkap Ghufron.

Ia kembali mengingatkan tidak menerima sesuatu dalam memberikan layanan publik harus menjadi kesadaran bagi setiap penyelenggara negara

"Sekali lagi, gratifikasi bukan berarti akhir ataupun final, (pelaporan) gratifikasi hanya cara bagi kita agar layanan publik bisa objektif, bisa adil. Tidak berarti kemudian semakin banyak laporan gratifikasi tidak berarti kemudian bebas korupsi, gratifikasinya sudah banyak dilaporkan tetapi yang dilaporkan yang kecil-kecil, ternyata yang besar tidak dilaporkan," ujar Ghufron.

Gratifikasi dianggap pemberian suap sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidananya 4 tahun sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Baca juga: KPK dalami penerimaan uang untuk kasus adik eks Bupati Lampung Utara

Menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Namun, ancaman pidana tersebut tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sebagaimana ketentuan Pasal 12C. KPK mengimbau pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menolak gratifikasi yang dilarang pada kesempatan pertama.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021