Yogyakarta (ANTARA) - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta bersama PT Tristem Medika Indonesia mengembangkan riset sel punca atau lebih dikenal dengan stem cell untuk pemulihan kesehatan serta pengobatan berbagai penyakit.

"Melalui kerja sama dengan pihak UGM diharapkan banyak dilakukan berbagai produk riset sel punca yang sudah diuji klinis terhadap pasien," kata Direktur PT Tristem Medika Indonesia Indra Bachtiar melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, terapi berbasis stem cell atau sel punca semakin maju dan berkembang pesat di negara maju, bahkan telah digunakan sebagai imunomodulator dan anti-inflamasi untuk mengatasi badai sitokin saat terpapar COVID-19.

Baca juga: BRIN: Prestasi Adi Utarini jadi motivasi bagi periset terus berkarya

Terapi lewat sel punca, ujar dia, juga mampu memperbaiki kondisi lingkungan mikro jaringan paru, serta memperbaiki organ-organ lain yang mengalami kerusakan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kata dia, pasien pneumonia COVID-19 yang menjalani terapi sel punca lebih mampu bertahan hidup, dan bisa mempercepat pemulihan perawatan pasien ICU dibandingkan dengan pasien tanpa terapi sel punca.

Namun demikian, menurut Indra, riset sel punca di berbagai perguruan tinggi Indonesia baru sebatas penelitian dasar dan belum banyak mengarah pada riset terapan.

Baca juga: Rektor UGM berharap BRIN miliki koordinasi baik untuk riset-inovasi

Apabila kerja sama antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah terjalin, ia meyakini produk stem cell dari dalam negeri semakin bisa berkembang dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

"Kami ingin stem cell sebagai produk dalam negeri sehingga bisa mengurangi ketergantungan karena hampir 95 persen bahan bakunya masih impor. Ini suatu dilema, tantangan bagi kita bagaimana bangsa ini bisa mandiri dengan obat obatan baru apalagi stem cell sebagai obat masa depan," kata dia.

Ia menyebutkan sumber bahan baku stem cell yang digunakan berasal dari sel sumsum tulang belakang, serta lemak dari darah tepi dan tali pusat.

Dari ketiga sumber tersebut, tali pusat diakui yang paling baik karena sel berusia muda, dibandingkan dari lemak yang kebanyakan selnya sudah berusia tua.

"Padahal, kita ingin sel stem cell yang masih muda," ujar Indra.

Baca juga: KSO WIKA raih kontrak konstruksi pembangunan gedung riset di UGM

Ia menjelaskan stem cell mampu memperbaiki sel atau jaringan yang rusak, membran lutut bagi yang terkena tulang keropos, serta memperbaiki fungsi pankreas agar bisa memproduksi insulin atau mengubah gula menjadi energi.

Sementara pada penyakit jantung, terapi stem cell potensial mengurangi penyumbatan dengan menambah jumlah pembuluh darah.

Sedangkan pada kasus stroke, stem cell lebih kepada perbaikan kemampuan motorik, belum mengarah pada perbaikan keseluruhan saraf yang rusak.

"Untuk stroke, stem cell belum sampai ke situ, namun percobaan dilakukan paling tidak memperbaiki saraf motorik belum memperbaiki saraf," kata dia.

Mahalnya biaya pengobatan stem cell saat ini, menurutnya, menjadi kendala sehingga masih sangat jarang digunakan oleh para dokter di rumah sakit.

Ia mencontohkan untuk satu tali pusat sepanjang 60 cm saja dari ibu yang sudah melahirkan bisa dikembangkan jadi 40 triliun sel stem cell yang bisa dimanfaatkan oleh ratusan juta orang.

Hal itu disebabkan dosis satu kali terapi penyuntikan sel stem cell melalui intravena menyesuaikan per kilogram berat badan.

"Dosis untuk sekali suntik itu, satu juta sel stem cell per kilogram berat badan. Minimal 70-80 persen dari total sel stem cell yang disuntik tersebut harus hidup semua," kata Indra.

Direktur PT Tristem Medika Indonesia, Indra Bachtiar telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama Rektor UGM Panut Mulyono di sela pembukaan kegiatan Forum Riset Industri UGM, Kamis (25/11).




 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021