Jakarta (ANTARA) - Antropolog Yosefina Anggraini berpendapat bahwa cara pandang manusia terhadap keberadaan sampah dapat menentukan arah perilaku dan sikap mereka terhadap pengelolaan sampah itu sendiri.

“Mungkin di era saya, waktu saya masih kecil, knowledge-nya sampah itu adalah sesuatu yang kotor dan membawa penyakit sehingga harus dibuang. Untuk masa kini, sepertinya kita harus mengubah cara pandang kita terhadap sampah,” kata Yosefina yang juga pengajar di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI),dalam diskusi virtual, Selasa.

Sampah, kata Yosefina, bisa dipandang dan menjadi sahabat jika dikelola dengan baik. "Dan memilah sampah itu adalah salah satu wujud perilaku yang sesuai dengan kebutuhan masa kini,” katanya.

Baca juga: Kemendikbud optimistis edukasi kelola sampah bisa lewat e-learning

Menurutnya, kehadiran sampah, terutama sampah plastik dalam kehidupan manusia di era industri tidak dapat disangkal dan fungsi plastik dalam masyarakat masih cukup besar. Meski demikian, ia mencatat pentingnya pengelolaan sampah plastik yang baik agar dapat membawa manfaat pada aspek kehidupan manusia.

Pada dasarnya, selama ratusan tahun manusia memiliki perilaku membuang sampah sembarangan. Hal tersebut telah terjadi pada manusia zaman pra-sejarah yang memproduksi tumpukan sampah dapur (kjokkenmoddinger). Manusia pada zaman tersebut masih menggunakan teknologi sederhana serta sebatas melakukan berburu dan meramu dari alam.

Yosefina berpendapat, berkaca pada zaman pra-sejarah, perkembangan industri teknologi di era sekarang seharusnya dapat seiring dengan penyesuaian teknologi pengelolaan sampah yang lebih baik. Ia menekankan jangan sampai terjadi kemunduran cara berpikir pada manusia modern.

“Ada hal yang tidak bisa dipisahkan antara infrastruktur, struktur, dan suprastruktur, yang harus bisa bersama-sama memandang plastik sebagai hal yang tidak bisa dipungkiri namun harus dikelola agar lingkungan terjaga,” katanya.

Baca juga: Menciptakan mata rantai ekonomi dari pengelolaan sampah

Dalam komponen infrastruktur, kata Yosefina, industri harus menggunakan teknologi yang mendukung kelestarian ekologi dan populasi manusia.

Sementara suprastruktur berkaitan dengan beragam ide, gagasan, atau cara pandang ketika manusia harus hidup berdampingan dengan sampah sebagai konsekuensi dari industri.

“Masyarakat dapat menentukan apakah sampah akan terus diposisikan sebagai lawan dan ancaman yang membahayakan hidup manusia, atau justru melihat sampah sebagai sahabat karena memberikan manfaat, misalnya dengan menciptakan nilai ekonomi dari sampah,” ujarnya.

Yosefina juga menekankan perlunya dukungan dari struktur sosial organisasi dan masyarakat untuk meregulasi dan menata pengelolaan sampah sehingga perilaku bijak sampah dapat tercipta dan menjadi budaya baru dalam kehidupan sehari-hari.

“Lingkungan alam itu jumlahnya terbatas sementara manusia jumlahnya terus bertambah. Hanya manusialah yang bisa menjaga keseimbangan ekologi,” tuturnya.

Mengingat hal tersebut, Yosefina mengatakan memilah sampah plastik sebagai bentuk kebudayaan baru merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan manusia yang hidup di era industri.

Baca juga: Mahasiswa FTUI rancang sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi

Baca juga: Indonesia mulai terapkan strategi pengelolaan sampah makanan

Baca juga: DKI targetkan 2.742 RW mampu pilah sampah

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021