Painan (ANTARA) - Petani di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengharapkan pemerintah segera mencarikan solusi terkait kelangkaan dan lonjakan harga pupuk bersubsidi di daerah itu yang terjadi mulai dua bulan terakhir.

Maradi (68), salah seorang petani di Nagari Salido Kecamatan IV Jurai, di Painan, Rabu mengungkapkan kenaikan tersebut mulai terasa sejak satu bulan lalu, sehingga petani terpaksa harus mengurangi takaran pemakaian pupuk dan menambah modal tanam.

"Ujung-ujungnya hasil menjadi panen tidak sempurna. Produktivitas menjadi rendah," katanya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, dalam lima tahun terakhir kebutuhan pupuk bersubsidi untuk petani mencapai 22,57 juta hingga 26,18 juta ton.

Total anggaran yang dibutuhkan Rp63 triliun hingga Rp65 triliun, namun alokasi dana yang disiapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya Rp25 triliun sampai Rp32 triliun.

Keterbatasan anggaran tersebut menyebabkan pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta hingga 9,55 juta ton.

Ia menjelaskan, untuk jenis Phonzka, naik menjadi Rp150 ribu per karung, dari Rp135 ribu per karung. Begitu juga dengan urea menjadi Rp150 ribu per karung, dari yang sebelumnya hanya Rp125 per karung.

Sedangkan harga gabah di tingkat petani tidak mengalami peningkatan, masih di kisaran Rp330 ribu per 57 kilogram untuk varietes PB 42 dan dan Rp320 ribu per 57 kilogram untuk jenis bujang merantau.

Di lain sisi, harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sehingga beban biaya yang ditanggung petani kian berat. "Panen terpaksa hanya untuk makan. Tidak bisa untuk yang lain-lain," ujarnya.
Baca juga: Mentan pastikan stok pupuk aman jelang musim tanam Oktober
Baca juga: Antisipasi perubahan iklim, Pupuk Indonesia siapkan stok lebih awal

Kondisi serupa juga dirasakan Afrizal (56), salah seotang petani di Nagari IV Koto Mudik Kecamatan Batang Kapas. Tak hanya kenaikan harga, ketersediaannya kini juga langka sejak dua bulan sebelumnya.

Menurutnya, dari keterangan kios pengecer kekosongan terjadi dari tingkat distributor kabupaten. Bahkan, kuota yang diterima petani masih separoh dari Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).

Padahal, petani di IV Kito Mudik kini sedang memasuki musim tanam. "Kami berharap ada solusi dari pemerintah. Jika tidak, tentu biaya bertanam petani menjadi relatif mahal," ujarnya.

Dalam berita resmi statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 1 November mencatat, Nilai Tukar Petani (NTP) sub-sektor tanaman pangan pada Oktober mengalami 0,02 persen dibanding periode September, dari 98,98, menjadi 98,96.

Penurunan terjadi akibat indeks yang diterima (pendapatan dari hasil panen) petani pada periode tersebut hanya 0,67 persen dan indeks yang dibayarkan (biaya produksi dan belanja rumah tangga) 0,69 persen.

Kemudian juga terjadi peningkatan pada indeks harga kelompok konsumsi rumah tangga, 0,71 persen serta indeks harga kelompok biaya produksi dan penambahan barang modal 0,60 persen.
Baca juga: Erick Thohir perintahkan BUMN pupuk segera garap pasar nonsubsidi
Baca juga: Pupuk Indonesia: Stok pupuk bersubsidi di Jateng capai 125,4 ribu ton

 

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021