Jakarta (ANTARA) - Data Analyst Continuum Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Natasha Yulian mengatakan 89 persen dari 8.523 pembicaraan terkait Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyambut baik perubahan aturan Pajak Penghasilan (PPh) menjadi lebih adil.

“Ada yang menganggap bahwa adanya tarif PPh berkeadilan akan menjadi tonggak reformasi perpajakan di Indonesia. Dan ada juga yang beranggapan bahwa penyesuaian tarif PPh akan memberi keberpihakan pada masyarakat kecil dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah),” kata Natasha dalam diskusi publik daring tentang UU HPP yang dipantau di Jakarta, Jumat.

Dalam UU HPP, pemerintah menaikkan penghasilan yang terkena tarif PPh terendah 5 persen dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta per taun. Di samping itu, pemerintah juga mengubah tarif dan menambah lapisan PPh OP sehingga penghasilan di atas Rp5 miliar dikenakan pajak 35 persen.

Di samping itu, menurut Natasha, sebanyak 83 persen masyarakat juga mendukung kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan dijadikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebijakan ini pun dinilai sebagai salah satu reformasi perpajakan dan menambah optimisme terkait digitalisasi pajak di Indonesia.

“Sementara sisanya 17 persen masih beranggapan negatif karena mereka menganggap dengan NIK menjadi NPWP, masyarakat yang sudah memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) otomatis menjadi WP (Wajib Pajak),” ucapnya.

Sebanyak 86 persen masyarakat juga mendukung perubahan aturan PPN dalam UU HPP dimana jasa pendidikan dan kesehatan tidak jadi dikenakan PPN.

Di samping itu, sebanyak 90 persen masyarakat di media sosial yang membicarakan pajak karbon mendukung penerapan pajak karbon yang dinilai sebagai upaya pemerintah mengurangi dampak pemanasan global.

“Pajak karbon juga dinilai dapat mengendalikan perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Sisa 10 persen merespon negatif terhadap aturan ini karena merea tidak setuju dan menilai pajak karbon seharusnya hanya diterapkan pada perusahaan penghasil karbon saja, dan tidak perlu kepada WP OP,” imbuh Natasha.

Mayoritas masyarakat di media sosial yakni sebanyak 97 persen dari data yang dikumpulkan Indef juga menolak aturan tax amnsety atau pelaporan sukarela WP dalam UU HPP. Tax Amnesty pun menjadi satu-satunya aturan di UU HPP yang mendapat lebih banyak respon negatif dari masyarakat.

“Mereka menganggap tax amnesty menguntungkan orang kaya dimana UU tersebut akan menghilangkan sanksi pidana pengemplang pajak dan pengurangan denda bagi penunggak pajak,” terang Natasha.
Baca juga: Dirjen Pajak: Program Pengungkapan Sukarela berbeda dengan Tax Amnesty
Baca juga: CORE: UU HPP penting untuk meningkatkan tax ratio dan kepatuhan pajak
Baca juga: Kemenkeu nilai UU HPP berpotensi tekan defisit 2022

 

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021