upaya memperpanjang ingatan kita tentang kebencanaan
Jakarta (ANTARA) - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memberikan dukungan pada Arsip Nasional RI (ANRI) yang membangun Pusat Studi Arsip Kebencanaan di Aceh.

"Pusat studi ini dibangun untuk memberikan sarana edukasi bagi masyarakat terkait literasi kebencanaan. Kehadiran Pusat Studi Arsip Kebencanaan itu mendorong berbagai pihak untuk menyiapkan referensi pengetahuan terkait bencana,” ujar Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bandi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.

Selain itu, pusat arsip itu bertujuan sebagai jalan menjelaskan kepada masyarakat tentang potensi bencana yang bisa menjadi pembelajaran bagi dunia.
 

​"​​​​Di Perpustakaan Nasional banyak sekali naskah yang menjelaskan tentang kebencanaan ini, yang paling penting bagaimana masyarakat dapat mendapatkan pelajaran serta edukasi tentang gejala bencana alam, khususnya,” tambah dia.
 

Bahan pustaka terkait kebencanaan yang dimiliki Perpusnas terdiri dari beragam koleksi, seperti manuskrip, buku langka, buku elektronik, artikel, dan surat kabar. Dia menyebutkan, beberapa di antaranya adalah naskah Bugis (Kutika), naskah Melayu, naskah Jawa (Palilindon, Pararaton, Babad Momana dan Sengkala) yang berisi cerita bencana di masa lalu.

Baca juga: Aceh miliki Pusat Studi Arsip Kebencanaan Tsunami
Baca juga: Riset sejarah dan mitigasi bencana dipaparkan ahli Indonesia

 

Lebih lanjut, Syarif Bando menuturkan hal yang paling utama dalam menyadarkan masyarakat tentang kesadaran bencana adalah dengan menulis atau membukukan setiap kejadian terkait bencana.

“Penulisan terus dilakukan dari gejala-gejala alam yang terjadi sehingga menambah banyak referensi. Karena masih sulit menemui buku-buku yang memang berkualitas di bidang itu. Secara itu berkaitan dengan kemampuan bangsa kita untuk mempersiapkan peralatan terkait pengendalian berbagai bencana yang mungkin timbul,” jelas dia.

Kepala ANRI, Imam Gunarto, menjelaskan peresmian dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yakni Perpusnas, BKN, Universitas Syiah Kuala (USK), serta Pemerintah Daerah Aceh agar hal ini menjadi tanggung jawab bersama.

"Arsipnya sudah ada, sumbernya sudah ada, dukungan politik sudah ada, biaya sudah ada, peralatan sudah ada, gedung sudah ada. Selanjutnya apa? Yaitu untuk membangun kesadaran bersama di seluruh dunia,” tegas Imam.


Baca juga: Unsyiah gandeng Arsip Nasional riset kebencanaan
Baca juga: Gubernur minta BNPB bantu literasi bencana di Maluku


Imam berharap hadirnya pusat studi akan memberikan dampak kepada sektor sosial dan pariwisata, karena banyak orang yang datang untuk belajar tentang kebencanaan.

“Karena kita bangsa yang mudah lupa, pusat studi ini merupakan suatu upaya memperpanjang ingatan kita tentang kebencanaan,” kata Imam.

Plt Kepala BKN yang menjadi Koordinator Penyusunan Cetak Biru Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias pada 2004-2009, berkisah mengenai pengalamannya dalam menyelamatkan arsip pasca-tsunami.

“Saya saat itu juga membantu ANRI menyelamatkan arsip-arsip yang terkena tsunami. Terutama arsip penting saat itu,” ungkap Bima Haria.

Bima Haria mengungkap ide pembangunan Pusat Studi Kebencanaan ini sudah muncul sejak 2005. Masyarakat merupakan pihak yang harus menerima informasi terkait kebencanaan agar paham dan bereaksi cepat ketika terjadi bencana.

“Pusat Studi Kebencanaan itu tidak bersifat materi statis tapi justru yang dinamis. Yang bisa dimengerti, diakses, dan dipelajari orang seluruh dunia. Jadi tidak hanya arsip statis tapi juga arsip digital yang bisa diakses,” imbuh Bima.

Baca juga: BNPB dorong literasi sejarah bencana Indonesia dari Ambon
Baca juga: BNPB kumpulkan data sejarah kebencanaan Indonesia di Belanda
Baca juga: Renungan 16 tahun tsunami di tengah bencana COVID-19


Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021