Jakarta (ANTARA) -
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI akan menggelar Jakarta Geopolitical Forum V Tahun 2021 yang membahas tentang "Budaya dan Peradaban: Kemanusiaan di Simpang Jalan" secara hybrid.
 
Acara yang digelar pada Kamis (21/10) dan Jumat (22/10) itu akan dibuka langsung oleh Gubernur Lemhannas RI Letjen Purn Agus Widjojo dengan pembicara kunci atau keynote speaker Prof Bambang Brodjonegoro.
 
Agus Widjojo dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu, mengatakan Jakarta Geopolitical Forum (JGF) merupakan "session sharing" bagi para pakar geopolitik dunia dalam menelaah situasi kawasan di dunia.
 
Harapannya, lanjut Agus, forum strategis ini dapat dimanfaatkan pembicara maupun peserta untuk mendiskusikan isu geopolitik di tingkat dunia. Geopolitik yang dimaknai sebagai ruang hidup menjadi isu sentral bagi seluruh negara di dunia.

Baca juga: Lemhannas menggunakan pendekatan "soft power" hasilkan kajian
 
Pengelolaan budaya nasional merupakan prasyarat untuk mendukung identitas nasional. Namun, globalisasi dan teknologi yang membentuk jalan alternatif peradaban, memberi tantangan untuk.menjadi pilihan.
 
"Tanpa identitas nasional, suatu bangsa tidak dapat mengendalikan kekuatan untuk mencegah ancaman-ancaman lain yang dapat melemahkan wibawa peradaban asli bangsa tersebut," ujarnya.
 
Ia menyebut perkembangan teknologi yang pesat berdampak pada terbukanya beragam budaya-budaya bangsa secara global.
 
Di sisi lain, generasi masa depan bangsa Indonesia bergantung pada budaya dan peradabannya sehingga apabila tidak diatur dengan baik, maka masa depan akan ternoda oleh peradaban global.

Baca juga: Lemhannas fokus kaji "soft power" bersiap menuju Indonesia 2045
 
"Peradaban di Indonesia memiliki sejarah yang hebat sehingga akan menjadi suatu ironi apabila peradaban Indonesia hancur akibat peradaban dunia modern," ujarnya.
 
Meskipun sampai saat ini belum ditemukan cara untuk mempertahankan masyarakat yang maju, adil secara sosial, dan kompatibel dengan ekosistem yang berkembang, ujarnya.
 
"Ini bukan berarti Indonesia tidak mampu melakukannya. Terlebih, Indonesia adalah negara yang kaya akan ragam budaya, suku, dan etnis sehingga mampu melestarikan nilai-nilai budaya bangsa untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan," jelas Agus Widjojo.
 
Melalui tema itu, JGF tahun ini bertujuan memahami bentuk peradaban masa depan, khususnya struktur sosial budaya manusia dunia.
 
Selain itu, JGF kelima ini juga untuk mengetahui sejauh mana budaya dan peradaban suatu bangsa dipertahankan di tengah perubahan pola pikir untuk beradaptasi dengan lingkungan peradaban baru.

Baca juga: Agus Widjojo paparkan lima capaian Lemhannas tahun 2020
 
Harapannya, kata dia, seminar akan mengetahui sejauh mana korelasi antara pengaruh dan perubahan peradaban yang disampaikan pada seminar hasil penelitian, review, dan "sharing session" yang dilakukan oleh pakar geopolitik dunia dari berbagai negara.
 
Ada sepuluh narasumber diundang menjadi pemateri yang berasal dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia dalam acara berskala internasional tersebut.
 
Narasumber tersebut, yakni Rudy Breighton dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston; Prof. Dr. Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Prof. Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; Dr. Jean Couteau, Antropolog dan Budayawan dari Prancis; Dr. Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., Cendekiawan sosial-politik.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021