Berbagai permasalahan ketenagakerjaan lainnya seperti sistem outsourcing, ketentuan pesangon dan jaminan hari tua, serta minimnya program reskilling dan upskilling juga perlu diselesaikan
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai sistem pengupahan baru yang ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan belum tentu akan dapat meningkatkan realisasi investasi.

Kondisi tersebut, menurut dia, dikarenakan realisasi investasi tidak hanya dipengaruhi oleh sistem pengupahan karena masih ada masalah ketenagakerjaan lainnya yang juga perlu dicari solusinya. "Penerbitan PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Namun sistem pengupahan baru ini belum tentu berdampak pada realisasi investasi. Berbagai permasalahan ketenagakerjaan lainnya seperti sistem outsourcing, ketentuan pesangon dan jaminan hari tua, serta minimnya program reskilling dan upskilling juga perlu diselesaikan," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Pemerintah, lanjut Pingkan, juga masih harus dapat menjamin kepastian regulasi dan koherensi antara aturan pusat dan daerah, penegakan hukum dan keterbukaan ekonomi agar dapat menunjang pemulihan ekonomi yang terdisrupsi pandemi hampir dua tahun terakhir ini. PP 36/2021 menggantikan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan berisi perubahan penghitungan upah minimum pekerja (UMP) dan akan berdampak pada penghitungan UMP tahun 2022.

Dalam sistem sebelumnya, penghitungan upah minimum dilakukan dengan menjumlahkan upah minimum tahun berjalan dengan hasil perkalian antara upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka UMP akan meningkat secara progresif setiap tahunnya. Sedangkan Pasal 26 pada aturan yang baru mempersyaratkan batas atas maupun bawah upah minimum. Batas atas dihitung dengan formula rata-rata konsumsi per kapita dikalikan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) kemudian dibagi dengan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada tiap rumah tangga. Sementara itu, batas bawah upah minimum adalah setengah dari batas atas.

Perhitungan menggunakan data statistik resmi daerah yang bersangkutan sehingga memungkinkan perbedaan hasil antardaerah. "Formulasi terbaru penghitungan upah minimum ini tidak lagi menjumlah tingkat inflasi daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi variabel utama dalam peraturan terdahulu. Kedua faktor tersebut tetap ada andil dalam penentuan upah minimum namun dengan rumusan berbeda. Hal ini di satu sisi meringankan beban dari pemberi kerja dalam melakukan penyesuaian pengupahan tapi di sisi yang lain kenaikan upah minimum pekerja setiap tahunnya tidak akan setinggi jika menggunakan rumusan penghitungan terdahulu," imbuh Pingkan.

Kendati demikian, lanjut Pingkan, masih terlalu dini untuk menyimpulkan dampak PP 36/2021 terhadap peningkatan investasi dan daya tarik bagi investor. Hal itu lantaran aturan ini baru akan berlaku di tahun depan dan masalah ketenagakerjaan serta pengupahan hanya sebagian aspek dari penentu daya tarik investor.

Baca juga: Pemerintah dan dewan pengupahan mengkaji penetapan upah minimum 2022
Baca juga: Menaker: Perubahan aturan upah harus jawab tantangan globalisasi
Baca juga: Dewan Pengupahan Nasional tegaskan pengusaha wajib taati regulasi THR
 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021