Negara ini perlu dilindungi dengan sabuk pertahanan yang mengikat dari Sabang sampai Merauke.
Jakarta (ANTARA) - Tantangan pertahanan negara kini semakin kompleks. Dinamika lingkungan strategis terus berkembang dari waktu ke waktu. Di berbagai kawasan dan belahan dunia, tampaknya perang antarbangsa belum akan berakhir.

Perang kekuatan militer antarnegara pemenang Perang Dunia II masih mewarnai halaman-halaman media dan media sosial. Perebutan pengaruh tak terhindarkan. Konflik di Palestina, Afghanistan dan Laut China Selatan yang semakin memanas menunjukkan bahwa konflik masih belum berakhir.

Karena itu, TNI sebagai benteng pertahanan bangsa dituntut untuk terus mengikuti perkembangan geostrategi global dan teknologi mutakhir yang kini makin canggih. TNI juga dituntut adaptif dengan teknologi peperangan modern, mengingat adanya pergeseran peperangan dari hard power ke soft power dan smart power.

Di sisi lain, kerawanan di perbatasan negara seperti separatisme, kejahatan transnasional, dan perebutan wilayah juga terus terjadi. Penyelundupan terorisme di perbatasan masih terus terjadi, perlawanan bersenjata di Papua terus bergejolak.

Menurunnya ekonomi negara tetangga, seperti Timor Leste, juga akan berimbas ke negara kita. Sementara negara-negara Asia Tenggara masih sibuk menghadapi klaim sepihak China di Laut China Selatan. Terlebih, muncul dan berkembang biaknya terorisme juga semakin menambah jumlah musuh peperangan bersenjata.

Pada situasi TNI genap 76 tahun mendorong kita semua untuk turut berkontribusi dalam membangun pertahanan negara yang lebih efektif dan visioner.

Sebagai organisasi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, TNI punya tugas menanggulangi berbagai ancaman, baik militer ataupun nonmiliter, dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.

Pakta AUKUS

Amerika Serikat, Inggris, dan Australia mengumumkan pakta keamanan untuk wilayah Indo-Pasifik yang disebut dengan Pakta Pertahanan AUKUS pada 15 September 2021. Di bawah pakta tersebut, Australia memperoleh kapal selam bertenaga nuklir dari Amerika Serikat dan Inggris.

Pakta Pertahanan AUKUS mencakup kerja sama dalam kemampuan dunia maya, kecerdasan buatan, teknologi kuantum, dan kemampuan bawah laut tambahan. Di bawah Pakta AUKUS ini, kekuatan militer Australia meningkat secara signifikan di kawasan.

Meski tidak disebutkan secara spesifik, tapi dapat dilihat dengan jelas bahwa Pakta AUKUS sebagai respons terhadap ketegangan militer di kawasan Laut China Selatan. Bantuan berupa kapal selam kepada Australia memperkuat asumsi itu.

China meradang dengan menuduh negara aliansi AUKUS belum mampu melepaskan mental perang dingin. Prancis bersama Uni Eropa meminta pertanggungjawaban Australia yang membatalkan kontrak kerja sama pertahanan antara Prancis-Australia senilai 65 miliar dolar AS.

Negara-negara ASEAN terpecah, Singapura dan Filipina menyatakan dukungan secara terbuka terhadap AUKUS. Sementara Malaysia, lebih bersikap diplomatis dengan kunjungannya ke China untuk memperoleh perspektif pemimpin. Indonesia sendiri, sebagai pemimpin ASEAN secara de facto menyatakan risiko perlombaan senjata di kawasan.

Dampak AUKUS

Skala ancaman China di kawasan Indo-Pasifik telah tumbuh secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Proyek OBOR (One Belt One Road) membentang di zona luas yang membentang melalui beberapa jalur laut paling vital di dunia timur dari India ke Jepang dan selatan ke Australia. Kebijakan peningkatan anggaran belanja militer, dan tekanan militer China di Laut China Selatan semakin meningkatkan intensitas ancaman bagi negara-negara di kawasan.

Kerja sama dalam pengembangan kapal selam bertenaga nuklir ini dalam AUKUS bukan tanpa alasan. Kapal selam bertenaga nuklir mampu meluncurkan serangan nuklir. Karena alasan itulah, Korea Utara juga memperingatkan tentang perlombaan senjata baru di kawasan itu setelah kesepakatan AUKUS.

Setiap kapal selam nuklir Australia kemungkinan akan dikerahkan ke wilayah perairan yang sedang diperebutkan, seperti Laut Cina Selatan, di mana beberapa negara Asia, termasuk Indonesia berselisih dengan China.

Meskipun Australia dapat melintasi lautan yang luas dan tersembunyi di perairan dalam, kapal selam nuklir beroperasi dengan uranium yang sangat diperkaya, dapat digunakan untuk pengembangan senjata nuklir. Hal ini mengkhawatirkan atas perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara.

Indonesia, sebagai wilayah dengan perairan terbesar di ASEAN, kemungkinan akan berinteraksi lebih banyak dengan kapal selam nuklir Australia, terutama di kawasan Laut Indonesia, Laut Arafuru, Laut Sulawesi, dan Laut China Selatan. Tentu ini bentuk ancaman baru bagi kedaulatan.

Dua Jalur Diplomasi

Jika dilihat secara lebih luas, AUKUS lebih dari sekadar kelas kapal selam. Presiden AS Joe Biden berbicara tentang perlunya mempertahankan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, dan untuk mengatasi lingkungan strategis saat ini di kawasan itu. Artinya, kepentingan global AS terhadap negara-negara demokrasi di kawasan Asia masih signifikan. Oleh karena itu, tidak salah jika China menyebut pakta AUKUS sebagai manifestasi mental perang dingin.

Indonesia, sebagai negara demokrasi, berdaulat dan menganut politik luar negeri bebas dan aktif perlu mengambil langkah yang tidak berorientasi pada salah satu blok, baik Blok China maupun Aliansi AUKUS. Ini pilihan yang sulit bagi Indonesia karena di sisi lain negara-negara Aliansi AUKUS maupun China memiliki investasi yang cukup besar di Indonesia.

Oleh karena itu, Indonesia perlu menempuh dua jalur diplomasi. Pertama, diplomasi politik Internasional untuk mempertegas bahwa ancaman kapal selam tenaga nuklir Australia dapat dijinakkan.

Ancaman ini paling nyata dan potensinya kuat. Indonesia juga perlu memperhitungkan nilai manfaat dari interaksi lintasan laut kapal selam tenaga nuklir Australia, termasuk interaksi militer negara-negara ASEAN yang jelas mendukung Pakta Pertahanan AUKUS, yaitu Singapura dan Philipina.

Kedua, diplomasi militer dengan penguatan sistem pertahanan negara maritim. Roadmap pertahanan negara yang ada, perlu dirumuskan ulang mengingat perubahan lingkungan strategis di kawasan.

Negara ini perlu dilindungi dengan sabuk pertahanan yang mengikat dari Sabang sampai Merauke dan di seluruh Alur Laut Kepulauan Indonesia atau Sabuk Pertahanan Negara Kepulauan.

*) Ngasiman Djoyonegoro, Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan

Baca juga: ASEAN dianggap perlu berikan respons tegas terkait AUKUS
Baca juga: Kemenlu sampaikan tiga perkembangan di tingkat kawasan dan global
Baca juga: Indonesia khawatir ketegangan meningkat di Indo-Pasifik karena AUKUS

Copyright © ANTARA 2021