Tapi memang yang terkait dengan operasional seperti pemasaran atau penanganan konflik ini juga perlu hati-hati, karena yang ketemu aja bisa kejadian dispute, kalau digital ini kan tidak ketemu, jadi sudah teknologi yang main....
Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa penyelenggaraan insurance technology (insurtech) oleh lembaga jasa keuangan atau pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut kepercayaan nasabah.

Kepala Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan, untuk perusahaan asuransi, saat ini memang mau tidak mau harus ikut dalam insurtech mengingat secara proses kegiatan asuransi akan lebih cepat dibandingkan yang konvensional.

"Tapi memang yang terkait dengan operasional seperti pemasaran atau penanganan konflik ini juga perlu hati-hati, karena yang ketemu aja bisa kejadian dispute, kalau digital ini kan tidak ketemu, jadi sudah teknologi yang main. Ini juga perlu diyakini bahwa tidak ada dispute sehingga mungkin untuk tahap awal yang dijual di insutrtech ini produk-produk yang sudah dipahami," ujar Riswinandi dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Kamis.

Baca juga: OJK perkuat riset dukung inovasi dan transformasi insurtech

Di Indonesia masih terdapat banyak orang yang kekurangan akses ke perbankan dan layanan jasa keuangan lainnya, termasuk asuransi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan untuk sektor perasuransian di Indonesia telah meningkat dari 15,8 persen pada 2016 menjadi 19,4 persen pada 2019. Selanjutnya, inklusi keuangan sektor perasuransian menunjukkan peningkatan yang lebih rendah yaitu sebesar 1,05 persen dari 12,1 persen pada 2016 menjadi 13,15 persen pada 2019.

Langkah besar telah dibuat dengan adanya asuransi kesehatan dasar wajib yang dikenal sebagai BPJS Kesehatan. Berdasarkan data BPJS Kesehatan per akhir 2019, orang Indonesia yang terdaftar sebagai bagian dari skema BPJS telah mencapai 224,1 juta jiwa atau 83 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 269 juta orang. Hal tersebut berarti lebih dari setengah populasi berada dalam program tersebut. Namun penggunaan produk asuransi selain BPJS hanya sebesar 2 persen. Dengan kata lain, hanya 4,5 juta dari total penduduk Indonesia yang memiliki polis asuransi tambahan selain BPJS, yang paling umum adalah asuransi jiwa.

Saat ini, perkembangan insurtech di Indonesia masih belum terlalu tinggi bila dibandingkan dengan fintech, terutama platform pinjaman daring. Pinjaman daring berkembang dengan cepat karena memberikan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan uang tunai dengan cepat. Hal itu berbeda dengan sistem asuransi, dimana masyarakat perlu membayar uang secara teratur dalam bentuk premi dan manfaat asuransi yang tidak dapat dirasakan secara instan.

"Seperti peer to peer lending, di insurtech ini kan mainnya platform. Berbedanya di sini kalau peer to peer lending penyaluran uang, kalau di sini masyaraat kita itu taruh uang. Secara tidak langsung bayar premi itu kan taruh uang di perusahan asuransi sehingga ia tentu akan menuntut haknya , tapi hak itu harus pahami juga apa yang dia beli , jadi jangan sampai ada dispute," kata Riswinandi.

Baca juga: Kemenkes libatkan asuransi swasta imbangi biaya kuratif JKN

Saat ini, terdapat banyak jenis bisnis insurtech yang berkembang, mulai dari manajemen asuransi hingga pemrosesan, penjualan, pengelolaan data, dan lainnya. Banyak perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan rintisan (startup) sedang berusaha menemukan cara yang lebih efisien untuk menghubungkan konsumen kepada insurtech.

Beberapa contoh bentuk penyelenggaraan insurtech salah satunya insurtech aggregator atau marketplace. Aggregator secara langsung menawarkan produk dan layanan asuransi kepada konsumen. Melalui aggregator, calon tertanggung dapat membandingkan harga, ketentuan, kebijakan dari berbagai produk dan layanan perusahaan asuransi.

Perusahaan insurtech aggregator tidak melakukan kegiatan underwrite, mengeluarkan kebijakan asuransi dan atau kontrak asuransi, namun hanya menyediakan platform untuk memfasilitasi transaksi (pasif). Contoh aggregator antara lain: cekaja.com, rajapolis.com, pasarpolis.com, premikita.com, bukalapak.com, tokopedia.com, dan lainnya.

Selain itu, ada insurtech intermediaries alias brokers atau agents, yang merupakan aggregator yang telah memiliki izin broker atau agen asuransi yang harus memiliki perjanjian dengan perusahaan asuransi terkait wewenang dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya. Intermediaries menjalankan bisnis (aktif) bertindak untuk para pihak dalam memberikan saran dalam memilih asuransi sesuai kebutuhan tertanggung dan mengatur transaksi asuransi. Contoh intermediaries adalah futureready.com, cekpremi.com dan www.premi.co.id.

Kemudian ada full stack insurtech, yaitu perusahaan yang memiliki izin penyelenggaran asuransi dan telah membangun platform digitalnya untuk memberikan pelayanan dan pengalaman unik kepada pelanggannya mulai dari promosi produk, penjualan, analisis risiko, pelayanan transaksi pembayaran langsung premi maupun klaim.

Contoh model full stack insurtech antara lain website perusahaan asuransi yang dapat diakses oleh calon tertanggung yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara melakukan pembelian asuransi atau mengajukan klaim asuransi secara daring.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021