Jakarta (ANTARA) - DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengaku kecewa terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memberikan hak asuh anak seorang kadernya ke pelaku KDRT.

Menurut Ketua Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak DPP PSI Karen Pooroe, putusan itu bermasalah dan berpotensi menambah trauma korban KDRT.

“Kami mempertanyakan putusan itu, karena putusan itu tidak adil dan mencederai upaya pemenuhan hak-hak perempuan korban KDRT. Sekali lagi, putusan itu merupakan preseden buruk dunia peradilan,” kata Karen sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis DPP PSI yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Seorang kader PSI, yang saat ini menjabat sebagai Juru Bicara DPP PSI Bidang Perempuan dan Anak Imelda Berwanty Purba, kehilangan hak asuh anaknya setelah Majelis Hakim pada Kamis (9/9) memberikan hak itu kepada mantan suami Imelda, yang diyakini sebagai terpidana kasus KDRT pada 2017.

Baca juga: PSI perintahkan kader awasi program kerja pemda terkait COVID-19

“Harusnya majelis hakim tahu bahwa yang bersangkutan adalah terpidana kasus KDRT yang diputuskan oleh pengadilan yang sama (PN Jakarta Timur),” sebut Karen.

Majelis Hakim PN Jakarta Timur melalui putusannya bernomor 354/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim pada 5 Oktober 2017 menetapkan mantan suami Imelda sebagai terpidana kasus KDRT.

Terkait itu, PSI menyampaikan Majelis Hakim seharusnya menolak permintaan hak asuh anak dari mantan suami kadernya itu, karena dia punya rekam jejak sebagai pelaku KDRT.

Hak asuh anak seharusnya diberikan ke ibu kandung, mengingat dua orang anaknya Imelda masih berusia enam tahun dan lima tahun, terang Karen.

Baca juga: PSI soroti anggaran KPI capai Rp60 miliar di tengah pandemi

Ia lanjut menyampaikan pihaknya khawatir jika hak asuh tetap diberikan ke pelaku KDRT, maka ada potensi dua anak kadernya akan jadi korban tindak kekerasan.

“Kami cemas dengan perkembangan anak-anak itu ke depan jika mereka dirawat dan dibesarkan oleh seorang pelaku kekerasan. Kemungkinan anak mengalami kekerasan dengan dalih mendidik atau menghukum itu sangat terbuka lebar,” kata dia menambahkan.

Sejauh ini, Imelda belum dapat dihubungi langsung untuk diminta konfirmasinya, begitu juga dengan mantan suaminya.

PN Jakarta Timur juga belum dapat dihubungi untuk diminta konfirmasinya mengenai putusan hukum kasus KDRT bernomor 354/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim.

Baca juga: PSI minta pemerintah naikkan pendapatan "wong cilik"

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021