Surabaya (ANTARA) - Legenda hidup Ludruk Jawa Timur Cak Kartolo merasakan perjuangan di tengah masa sulit pandemi virus corona jenis baru (COVID-19) tidak hanya sekadar bertahan hidup untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, melainkan juga bagaimana menjaga kesenian tradisional yang digelutinya agar tetap lestari.

"Menjadi seniman ludruk sebenarnya bukan cita-cita saya," katanya saat ditemui di rumahnya, Jalan Kupang Jaya I Surabaya, Rabu.

Pria yang kini berusia 75 tahun itu mengungkapkan semula bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil.

"Tapi apa daya, saya cuma lulusan Sekolah Rakyat," ujarnya.

Lahir di Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, setelah lulus dari Sekolah Rakyat, atau setara dengan sekolah dasar di Tahun 1959, Kartolo diajak merantau ke Surabaya oleh ayahnya.

Singkat cerita, lantas bertemu seniman ludruk Cak Basman, yang kelak menjadi ayah mertuanya, setelah Kartolo mempersunting putrinya, Ning Kastini.

"Saya belajar karawitan dan kemudian pentas ludruk bersama Cak Basman dan kawan-kawan," ucapnya.

Di era 1970-an, Kartolo menjalani pentas ludruk "tobong", yaitu berpindah-pindah gedung pertunjukan dari satu kampung ke kampung lainnya di wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya.

Menginjak Tahun 1980-an, ketika masyarakat mulai memiliki televisi di rumahnya masing-masing, berdampak pada sepinya penonton di tiap pementasan ludruk tobong.

Beruntung sebuah perusahaan rekaman "Nirwana Record" di Surabaya mengajaknya rekaman ludruk bersama Basman dan kawan-kawan, termasuk istrinya Ning Kastini, hingga menghasilkan 79 episode audio dalam bentuk kaset.

Diakui Kartolo, 79 episode audio cerita ludruk yang direkam Nirwana Record itu melambungkan namanya. Di era 1980 hingga pengujung Tahun 1990-an, banyak stasiun radio di wilayah Jawa Timur yang memutar seluruh episode cerita ludruk dari audio kaset yang diedarkan oleh Nirwana Record.

Potongan rekaman audio Ludruk dari Nirwana Record tersebut, bahkan belakangan menjadi viral, selama hampir dua tahun terakhir menghiasi media sosial, seperti Tik-Tok, Instagram, Facebook, Youtube dan Whatsapp, salah satunya kidungan yang dilontarkan mendiang Basman: "Angel, angel… Angel temen tuturanmu…"

"Itu royaltinya masuk ke Nirwana Record. Sebab waktu awal rekaman dulu kontraknya disepakati tanpa royalti bagi kami para seniman ludruk," ujar Cak Kartolo.


Panggung ludruk kini

Memasuki Tahun 2000, stasiun televisi lokal bermunculan di Jawa Timur. Sebuah televisi swasta lokal di Surabaya berhasil menggandeng sponsor untuk mengontrak Cak Kartolo dan kawan-kawan untuk tampil rutin mementaskan cerita ludruk, minimal sepekan sekali.

"Tapi setelah sponsornya tidak memperpanjang kontrak, ya, kami tidak dipakai lagi," kata Cak Kartolo, mengenang.

Namun, bagi televisi swasta lokal tersebut, rekaman ludruk Cak Kartolo cs yang pernah ditayangkan bisa kembali ditayangkan berulang-ulang, bahkan sampai sekarang dengan menggaet sponsor baru.

Cak Kartolo menyatakan tidak mempersoalkannya meski tidak mendapatkan royalti. Baginya sudah sama-sama untung karena melalui tayangan di televisi itu namanya terus melambung dan banyak tanggapan off air di tempat lain.

Hingga akhirnya pandemi COVID-19 melanda, seluruh kegiatan yang mengundang keramaian, termasuk pementasan ludruk, dilarang.

"Saya untungnya menjelang pandemi itu dapat job main dua film. Judulnya 'Kartolo Numpak Terang Bulan' dan 'Kartolo Loro Ati'. Saya bertahan menghidupi keluarga selama dua tahun di masa pandemi dengan bekal honor dari main di dua film itu," ujar Kartolo, yang pernah membintangi sejumlah film, di antaranya "Tjokroaminoto" dan "Yowis Ben".

Meski begitu, Cak Kartolo juga merasa sedih karena dua film yang dibintanginya itu hingga kini gagal tayang di bioskop gara-gara pandemi COVID-19.


Bantuan pemerintah

Kartolo merasa pemerintah tidak tinggal diam terhadap seniman tradisional yang terdampak ekonomi akibat pandemi COVID-19.

"Sebab saya juga terdata mendapatkan Bantuan Langsung Tunai atau BLT, yang sekali cair dapat Rp300 ribu itu," katanya.

Maka Cak Kartolo ikut mengantre di Kantor Pos dekat rumahnya setiap kali ada pencairan BLT.

"Tidak ada yang tahu kalau yang mengantre itu saya sebab pakai masker. Tapi petugasnya akhirnya tahu ketika melihat nama di KTP saya," ucapnya.

Cak Kartolo sempat berkelakar kepada petugas di Kantor Pos yang mengenalinya, "Kalau BLT-nya langsung dicairkan penuh, gak usah dicairkan bertahap Rp300 ribuan seperti ini, kira-kira Kantor Pos-nya bangkrut nggak ya..".

Bagi Kartolo, sebagai seniman tradisional, bukan hanya pelaku seninya yang harus tetap bertahan hidup di masa sulit pandemi COVID-19 yang telah melanda selama hampir dua tahun terakhir, melainkan bagaimana caranya agar kesenian tradisional, seperti ludruk, yang digelutinya selama ini, agar tetap lestari melampaui segala keterbatasan akibat pandemi COVID-19 itu sendiri .

Maka, selama dua bulan terakhir, Cak Kartolo dibantu sejumlah rekannya yang paham teknologi digital, membuat akun "Cak Kartolo Channel" di media sosial Youtube.

"Sudah ada 15 cerita ludruk lebih di akun Youtube Cak Kartolo Channel yang telah tayang. Salah satunya saya menari Remo di sana," ucapnya.

Cak Kartolo Channel di Youtube mendapat sambutan positif dari seniman ludruk asal Nganjuk, Jawa Timur, Sakoma P Susilo.

Cak Silo, sapaan akrabnya, bahkan sebelum pandemi COVID-19 melanda, atau selama dua tahun lebih, telah menjadikan Youtube sebagai panggung pentasnya dengan membuat akun "Nanobukanpermen", yang telah menghasilkan banyak cerita "ludrukan".

Cak Silo pekan lalu berkolaborasi tampil bareng Cak Kartolo dalam sebuah cerita komedi ludrukan, yang dalam waktu dekat segera ditayangkan di masing-masing akun Youtube mereka.

Komedian tunggal asal Surabaya Dodit Mulyanto juga mengapresiasi keberadaan panggung Cak Kartolo Channel di Youtube.

Pelaku stand up komedi itu telah mengonfirmasi keinginannya untuk tampil bareng Cak Kartolo dalam sebuah cerita komedi ludrukan untuk ditayangkan di Youtube Cak Kartolo Channel.
Seniman ludruk Cak Kartolo berpose di depan rumahnya, Jalan Kupang Jaya I Surabaya, Rabu (1/9). (ANTARA/Hanif Nashrullah)
Jual rumah

Cak Kartolo menawarkan rumah yang ditempati bersama keluarganya sejak Tahun 1984 di Jalan Kupang Jaya I Surabaya untuk dijual.

"Ini bukan ludrukan," katanya, serius.

Cak Kartolo menyatakan telah menawarkan rumahnya sejak sebelum pandemi. Saat itu ada yang menawar senilai Rp 6 miliar. Namun Cak Kartolo menunggu penawaran yang lebih tinggi.

Alasan ingin menjual rumahnya yang berukuran 440 meter persegi dengan bangunan dua lantai itu bukan semata karena terdampak ekonomi pandemi COVID-19.

"Hasil penjualan rumah akan dipergunakan untuk keperluan sekolah cucu-cucu saya," ucapnya.

Pernikahan Cak Kartolo dengan Ning Kastini membuahkan tiga orang anak. Anak pertama laki-laki, Agus Slamet, meninggal dunia ketika masih bayi.

Anak kedua perempuan, Gristia Ningsih, meninggal dunia sekitar tiga tahun lalu di usia 41 tahun, meninggalkan tiga orang anak yang kini salah satunya masih duduk di bangku kuliah, serta dua lainnya mengenyam pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) di Surabaya, yang semuanya kini tinggal bersama Cak Kartolo dan Ning Kastini.

Selain itu, anak bungsu Cak Kartolo dan Ning Kastini, seorang perempuan bernama Dewi Trianti, memiliki dua anak yang masing-masing masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan SMK.

"Semua cucu-cucu itu menjadi tanggungan saya. Biaya untuk masa depannya harus dipikirkan mulai sekarang. Saya kira bisa dimanaj dengan menjual rumah ini. Biar nanti saya pindah cari rumah yang lebih kecil," katanya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021