Jakarta (ANTARA) - Pemerintah daerah kabupaten dan kota menjadi kunci dalam pengelolaan sampah di tanah air karena pemerintah pusat telah memberikan dukungan penuh baik dalam bentuk regulasi maupun anggaran.

Direktur Dana Transfer Khusus Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka mengatakan bahwa Kementerian Keuangan baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 26/2021 tentang Dukungan Pendanaan APBN bagi Pengelolaan Sampah di Daerah. Regulasi itu berusaha untuk mengintegrasikan pendanaan dari APBN untuk pengelolaan sampah.

“Kami akan memprioritaskan daerah yang sudah memiliki alokasi APBD cukup memadai untuk mengelola sampah di daerahnya. Jika daerah itu sendiri tidak memiliki concern terhadap pengelolaan sampah, tentunya lucu jika pusat men-support bantuan atau anggaran untuk pengelolaan sampah. Harus ada alokasi dari APBD untuk pengelolaan sampah,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.

Dia mengakui bahwa tidak sedikit pemerintah daerah yang mengelola sampahnya secara biasa (business as usual). Padahal, antarpemda bisa bekerja sama dalam pengelolaan sampah, misalnya untuk pengadaan tempat pembuangan akhir (TPA) karena lahan kian terbatas. Bahkan, PMK No. 26/2021 telah mengakomodasi Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) paling tinggi Rp500.000 per ton sampah.

Di sisi lain, menurutnya, pendanaan dari pusat untuk pengelolaan sampah di daerah juga sudah tersedia melalui belanja kementerian/lembaga (termasuk dana tugas pembantuan), hibah dari negara lain, dan fasilitas dukungan kelayakan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Selain itu, terdapat pembiayaan anggaran melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Ditambah dengan dana insentif daerah (DID), dana alokasi khusus (DAK) fisik dan DAK nonfisik. Khusus untuk DID, katanya, ada penilaian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kata Putut dalam Webinar “Transparansi Anggaran Pengelolaan Sampah di Kabupaten/Kota di Indonesia” oleh Limbahnews, Rabu (25/8).

Putut menyayangkan alokasi BLPS Rp26,91 miliar dalam APBN 2019 tidak terealisasi sama sekali. Kemudian alokasi BLPS dalam APBN 2020 sebesar Rp53,09 miliar juga tidak terealisasi. BLPS 2021 dialokasikan sebesar Rp53,09 miliar dan dalam proses pencairan untuk Kota Surabaya sebesar Rp51,04 miliar dan Dana Cadangan sebesar Rp2,05 miliar.

Menurutnya, Pemda dan badan usaha bisa bekerja sama dalam skema KPBU sehingga dana pengelolaan sampah dari pusat dapat langsung ditujukan ke KPBU tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Horas Maurits Panjaitan menjelaskan pada prinsipnya semua pendapatan dan pengeluaran daerah dalam APBD harus transparan, terbuka, dan dapat diakses semua pihak. Regulasi pengelolaan anggaran daerah juga sudah dilakukan penyesuaian untuk mengedepankan transparansi anggaran, termasuk dana untuk pengelolaan sampah.

“Misalnya ada retribusi dari masyarakat termasuk dana dari APBD atau tipping fee dalam pengelolaan sampah. Beberapa landasan yuridis juga sudah ada seperti Permendagri No. 90/2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan & Keuangan Daerah, Permendagri No. 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah,” tuturnya.

Dia menyarankan agar pemda perlu merancang anggaran pengelolaan sampah agar masuk ke dalam kerangka perencanaan tahunan, rencana 5 tahun, bahkan 20 tahun ke depan yang akan dijadikan dasar dalam pengalokasian anggaran dalam APBD.

“Perlu standar biaya pengelolaan sampah di daerah. Ini akan bervariasi, harus distandarkan, perlu regulasi, mana kota kecil, sedang, besar akan diklusterisasi, sehingga mudah utuk menetapkan tipping fee untuk pengelolaan sampah. Itu kuncinya. Standardisasi, benchmark kajian, lebih baik menggunakan jumlah penduduk, karena penduduk yang dilayani sehinga bisa dijadikan dasar, di sampaing faktor lainnya, seperti timbunan sampah dan kondisi geografis.”

Dia menilai model penugasan BUMD dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif di luar model KPBU berdasarkan Perpres No. 38/2015 dan peraturan operasionalnya. Kemendagri perlu berkoordinasi dengan stakeholders terkait guna merumuskan kebijakan yang jelas mengenai kerja sama dalam pengelolaan sampah, penghitungan tipping fee, harga produk akhir pengolahan sampah, penugasan BUMD dan kerja sama BUMD dengan anak perusahaan atau badan usaha lain.

Regulasi Cukup
Pantas Nainggolan, anggota Komisi D DPRD DKI, mengatakan bahwa regulasi dalam pengelolaan sampah sudah cukup, tetapi implementasinya yang belum optimal. “DKI sudah mengalami darurat sampah karena hanya 1 TPA Bantargebang dan daya tampungnya akan penuh pada 2022. Regulasi pengelolaan sampah sudah cukup banyak, tetapi daya dorong masih sangat lemah.”

Kepala Biro perencanaan, Pengawasan Internal dan Kerja Sama Komnas HAM Esrom Panjaitan menjelaskan lingkungan sehat dan bersih merupakan hak asasi manusia bagi setiap orang. “Komnas HAM telah memberi rekomendasi kepada pemerintah dalam situasi pandemi, yaitu negara tetap memiliki kewajiban dan melindungi warganya, termasuk mendapatkan kesehatan, lingkungan yang baik dan sehat. Jika sampah tidak dikelola dengan baik, maka ada potensi pelanggaran terhadap HAM.”

Dia menilai bahwa salah satu aplikasi Mountrash telah terbukti mengubah persoalan sampah menjadi berkah. Namun, banyak persoalan dalam pengelolaan sampah di Indonesia seperti belum dipilah dari rumah tangga.

“Persoalan sampah tidak akan selesai jika tidak ada sinergi pemerintah, badan usaha, dan stakeholder lain melalui anggaran dan menciptakan agen-agen perubahan dari skala terkecil RT/RW untuk memberikan contoh. Paling penting adalah disiplin warga dalam mengelola sampah seperti memilah dari rumahnya.”

Founder Mountrash Gideon W. Ketaren menilai bahwa penanganan sampah di Indonesia masih pada level pengangkutan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan (TPS/TPA). Selain itu, lanjutnya, belum ada proyek pengolahan dan pemanfaatan sampah yang berhasil di Indonesia.

“Sebenarnya kinerja masyarakat baik bank sampah maupun UMKM pengolahan dan pemanfaatan sampah [pendaur ulang] lebih efektif, tapi mereka hanya menjadi objek. Sementara itu, kendala UMKM adalah lahan, akses legalitas dan akses pembiayaan,” ujar Gideon.


Baca juga: Perlunya model kelembagaan pengelolaan sampah penggerak ekonomi rakyat

Baca juga: Perusahaan swasta perlu proaktif manfaatkan potensi ekonomi sampah

Baca juga: Menciptakan mata rantai ekonomi dari pengelolaan sampah


 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021