Jakarta (ANTARA) - Pengamat kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/2021 terkait pengelolaan komoditas lobster sejalan dengan prinsip berkelanjutan.

"Aturan ini sudah sejalan dengan tiga prinsip pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab," kata Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Jumat.

Menurut Abdul Halim, sejumlah prinsip itu antara lain berbasis kajian ilmiah, karena disadari bahwa stok lobster berada pada status kuning dan merah di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pengawasan yang ketat.

Prinsip lainnya, ujar dia, adalah berbasis pada manajemen perikanan yang baik, serta penegakan hukum yang transparan dan adil.

"Mengacu pada hasil stok ikan, maka yang harus dilakukan adalah mendorong pemanfaatan di setiap WPP sesuai dengan ketersediaan stok ikannya. Dengan jalan inilah, niscaya kelestarian sumber daya terjaga dan kesejahteraan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster di dalam negeri bisa tercapai," paparnya.

Untuk itu, ujar dia, hal yang perlu dilakukan adalah menerjemahkan mandat Peraturan Menteri KP No. 17/2021 tersebut sesuai dengan kekhasan sumber daya yang tersedia, keadilan dalam pemanfaatan sumber daya, dan penegakan hukum yang terbuka dan adil ke dalam program kerja di tingkat pusat dan daerah sekitar WPP.

Ia juga tidak menginginkan agar penegakan hukum lebih melempem dan longgar, terlebih lagi di tengah pandemi seperti saat ini.

Sebagaimana diwartakan, KKP bakal mengeluarkan regulasi yang mengatur pengenaan sanksi administratif terkait pembudidayaan lobster yang sudah resmi dilarang untuk diekspor.

"Denda administratif ini merupakan ruh baru yang ada dari UU Cipta Kerja, ruhnya ini menggeser dari hukuman pidana ke denda administratif," kata Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan KKP Drama Panca Putra dalam acara program Bincang Bahari yang digelar secara daring, Selasa (13/7).

Menurut dia, penting bagi pelaku usaha pembudidayaan mematuhi standardisasi karena yang menjadi objek pengawasan beragam, mulai dari kesesuaian daya dukung lingkungan hingga penanganan limbah. Selain itu, misalnya ada pelaku usaha budi daya yang ingin melakukan riset juga harus dilengkapi surat keterangannya agar tidak terjadi pelanggaran administrasi.

Begitu pula, lanjutnya, dalam kegiatan distribusi di wilayah Indonesia harus dilengkapi dengan dokumen perizinan karena pernah ada yang menemukan Benih Bening Lobster (BBL) yang didistribusikan tanpa dilengkapi surat keterangan asal sehingga terpaksa diamankan.

"Kalau ada kegiatan pelanggaran yang sifatnya administratif tentunya akan dilakukan hukuman administratif, sebelum dilakukan pembekuan dan pencabutan izin usaha," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Lobster Indonesia (GPLI), Gunawan Suherman, mengapresiasi terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, yang dinilai memberikan kepastian hukum.

"(Peraturan tersebut) memberikan kepastian hukum bagi para pembudidaya," kata Gunawan.

Baca juga: Regulasi lobster dinilai beri kepastian hukum bagi pembudidaya
Baca juga: Pakar usul ada kawasan khusus untuk kelestarian lobster
Baca juga: LIPI kembangkan teknologi formulasi pakan buatan bagi abalon-lobster

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021