Jakarta (ANTARA) - Pada 1 Juli 2021 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merayakan hari jadi Ke-75. Artinya, sudah 75 tahun instansi Bhayangkara tersebut menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum.

Beragam prestasi dan tinta emas ditorehkan oleh Polri sejak berdiri. Namun, tidak sedikit pula catatan dan evaluasi yang disampaikan masyarakat sipil, pegiat hukum, praktisi hingga kalangan mahasiswa atas kinerja Polri tersebut.

Di bawah kepemimpinan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Polri mengusung konsep transformasi Polri yang presisi.

Hal itu dilontarkan-nya sebelum ia ditetapkan sebagai orang nomor satu di tubuh Bhayangkara. Dengan gagasan prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan, masyarakat betul-betul berharap ada perubahan nyata dan signifikan di instansi kepolisian.

Wajar saja jika masih banyak masyarakat meragukan instansi Bhayangkara. Sebab, tak jarang apa yang betul-betul diharapkan bertolak belakang dari gagasan-gagasan yang selama ini diusung oleh penegak hukum.

Dari sekian banyak evaluasi dan catatan untuk instansi Bhayangkara, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) turut memberikan sumbangsih dan masukan kepada polisi.

BEM UI menilai masih banyak pekerjaan rumah dan program-program Kapolri yang mesti diperbaiki salah satunya kehadiran polisi virtual. Kehadiran polisi virtual dikhawatirkan malah menggeser tugas-tugas utama polisi.

Keberadaan polisi virtual seharusnya memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat yang berselancar di dunia maya. Tugas itu terutama dalam mengedukasi publik perihal Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Landasan hukum dari polisi virtual tercantum dalam surat edaran Kapolri bernomor SE/2/11/2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif.

Namun, sayangnya, apa yang dilakukan oleh polisi virtual dinilai BEM UI berlebihan terhadap masyarakat sehingga berpotensi mengancam kebebasan berpendapat.

Baca juga: Pandangan anggota DPR soal kritik kepada pemerintah

Baca juga: Ini capaian kinerja Polri di HUT ke-75 Bhayangkara


Menurut salah seorang pengurus BEM UI Fanny Syaferial perlu ada kejelasan dan parameter yang dipakai oleh polisi virtual dalam menindak sebuah akun di media sosial.

Tindakan yang dilakukan oleh polisi virtual dinilainya justru membuat negara bertindak seperti merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka.

Sebagai contoh tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap AM salah seorang pemuda di Kota Solo, Jawa Tengah. AM ditangkap oleh Polresta Solo karena dinilai mengundang komentar mengandung hoaks atau informasi bohong dan ujaran kebencian.

Polisi menilai AM melontarkan kalimat ujaran kebencian dan hoaks kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak sulung dari Presiden Joko Widodo.

Penangkapan bermula dari pernyataan AM yang merupakan warga Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal mengomentari sebuah unggahan terkait keinginan Gibran menyelenggarakan semifinal dan final Piala Menpora di Stadion Manahan Solo.

Dalam unggahan kalimatnya, AM menuliskan "tahu apa dia tentang sepakbola, tahunya cuma dikasih jabatan saja".

Banyak kalangan termasuk mahasiswa menilai tindakan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian berlebihan. Ucapan AM dinilai bukan ujaran kebencian apalagi hoaks melainkan lebih kepada ucapan sinis.

"Kasus penangkapan ini salah satu contoh buruk dan kekeliruan dalam penegakan restorative justice yang digadang-gadang sebagai kinerja polisi virtual," ujar Fanny.

Diskriminasi hukum

Dalam situasi pandemik COVID-19 sebagian mahasiswa menilai Polri masih tebang pilih dalam hal penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan. Dasar hukum pelaksanaan protokol kesehatan merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/382/2020.

Pernyataan penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan yang masih pandang bulu tersebut dicontohkan saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021.

Pada saat kunjungan kerja orang nomor satu di Indonesia tersebut terlihat banyak masyarakat tidak menaati protokol kesehatan dengan ketat sebagai contoh tidak menjaga jarak fisik dan tidak memakai masker.

Imbasnya, kegiatan Presiden di Maumere tersebut dilaporkan ke instansi kepolisian, namun sayangnya ditolak. Penolakan tersebut tentu saja membuat masyarakat kecewa karena Polri dinilai masih tebang pilih dalam menegakkan hukum kepada pelanggar protokol kesehatan.

Tidak hanya itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 juga ditemukan banyaknya pelanggaran protokol kesehatan. Setidaknya Bawaslu mencatat terdapat 2.584 kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh tim kampanye, pasangan calon dan sebagainya.

Dalam hal ini Polri hanya melakukan tindakan teguran tertulis dan pembubaran. Tindakan tersebut dinilai kontras saat polisi menindak dan menangkap sembilan orang yang tergabung dalam massa aksi Hari Pendidikan Nasional 3 Mei 2021 karena dalih melanggar protokol kesehatan.

Baca juga: Kompolnas ingatkan pembenahan di bidang reserse Polri

Baca juga: Bamsoet apresiasi beragam capaian kinerja Polri


"Dari dua kasus ini terlihat adanya inkonsisten Polri," ucap pengurus BEM Universitas Diponegoro Fajar Sodik.

Dari aspek hak asasi manusia, Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mendorong semua pihak terutama BEM Seluruh Indonesia yang melakukan sebuah kajian atas kebijakan dan kinerja Polri juga menyoroti berbagai persoalan atau penuntasan masalah di daerah rentan dan minoritas, misalnya, di Papua.

Dorongan itu tidak terlepas dari banyaknya dugaan pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih oleh aparat penegak hukum. Lebih miris lagi, pelanggaran itu berulang kali terjadi dan tidak ada perbaikan dari aparat kepolisian.

Kemudian, untuk kelompok rentan Komnas HAM juga merekomendasikan BEM Seluruh Indonesia dan pegiat hukum lainnya agar mendesak Kapolri menyelesaikan berbagai dugaan kekerasan dan pelanggaran hukum pada perempuan.

Sebab, selama ini cukup banyak kasus terjadi ketika seorang perempuan melapor malah mendapat pelecehan seksual, kekerasan fisik dan lain sebagainya.

Lebih buruk lagi, beberapa waktu lalu instansi kepolisian kembali menjadi sorotan tajam publik karena salah seorang oknum personel Bhayangkara di Polsek Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat diduga memperkosa remaja 16 tahun di dalam penjara.

Aksi bejat tersebut patut disayangkan dimana instansi Polri yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat malah berubah seketika menjadi tempat yang menakutkan.

Terakhir, di usia Polri yang genap 75 tahun masyarakat terus berharap ada perbaikan-perbaikan nyata supaya visi Polri terwujud-nya pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat yang prima, tegak-nya hukum dan keamanan dalam negeri yang mantap serta terjalinnya sinergi polisional yang proaktif.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021