Jakarta (ANTARA) - Memeriksa dengan seksama adalah pengertian sederhana dari tugas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dijelaskan bahwa pengawasan intern meliputi seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.

Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

Seluruh kegiatan itu dilakukan oleh APIP yang instansi pemerintah yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan internal (audit intern) di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

Anggota APIP terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat jenderal kementerian, inspektorat/unit pengawasan intern pada kementerian negara, inspektorat utama/inspektorat lembaga pemerintah non kementerian, inspektorat/unit pengawasan intern pada kesekretariatan lembaga tinggi negara dan lembaga negara, inspektorat provinsi/kabupaten/kota, dan unit pengawasan intern pada badan hukum pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam bahasa yang mudah, APIP adalah pelaksana seluruh program pemerintah yaitu sejak sebelum, selama, dan setelah kegiatan pemerintah dilakukan. Bukan tugas yang mudah.

Kondisi APIP

Dalam laporan pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Triwulan VIII tahun 2020 disebutkan bahwa kinerja dan independensi APIP masih dipertanyakan.

Baca juga: Presiden perintahkan menteri dan kepala daerah tak tutupi data

Upaya penguatan peran dan fungsi APIP masih terus dihantui tantangan sistemik berupa kualitas dan kuantitas SDM, kelembagaan dan kewenangan serta anggaran, walau beberapa kerangka regulasi telah coba mengatasi masalah tersebut.

Jumlah SDM APIP saat ini diakui belum memadai. Analisis kebutuhan yang dilakukan oleh tiga institusi pembina APIP memperlihatkan masih ada kesenjangan yang cukup lebar.

Jumlah auditor dalam APIP adalah sebanyak 13.420 orang, sementara kebutuhannya mencapai 46.560 orang.

Jumlah auditor kepegawaian (audiwan) saat ini 123 orang, sementara jumlah kebutuhannya mencapai 264 orang

Kemudian jumlah Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD) saat ini adalah 2.701 orang sementara jumlah angka yang dibutuhkan masih dalam perhitungan.

Anggaran yang dialokasikan untuk inspektorat juga belum memadai sehingga pelaksanaan fungsi pengawasan di pemerintah daerah tidak maksimal.

Selain dari sisi komitmen alokasi anggaran, secara legal belum ada dasar hukum bagi pemda untuk mengalokasikan anggaran APBD dalam jumlah tertentu untuk pelaksanaan fungsi pengawasan inspektorat daerah. Pengawasan yang dilakukan APIP (terutama di daerah) dinilai masih kurang efektif karena independensi, kompetensi dan integritasnya dinilai kurang memadai.

Kurangnya indepedensi itu dilihat dari posisi SDM APIP yang secara struktural lemah karena berada di bawah kendali kepala daerah dan sekretarisnya. Dalam keadaan demikian tidak mungkin SDM APIP melakukan pengawasan secara profesional dan obyektif

Untuk mengatasi kekurangan anggaran, Mendagri telah diterbitkan Pemendagri No 33 tahun 2019 tentang penyusunan APBD tahun 2020.

Dalam Permendagri tersebut di antaranya diatur untuk pemerintah provinsi dengan APBD kurang dari Rp4 triliun wajib mengalokasikan dana untuk inspektorat 0,90 persen; untuk pemprov dengan APBD Rp4-10 triliun wajib mengalokasikan dana untuk inspektorat 0,60 persen; untuk Pemprov dengan nilai APBD di atas Rp10 triliun wajib mengalokasikan dana untuk inspektorat 0,30 persen.

Selanjutnya untuk Pemkab/Pemkot dengan nilai APBD kurang dari Rp1 triliun wajib mengalokasikan 1 persen; untuk Pemkab/Pemkot dengan nilai APBD Rp1-2 triliun wajib mengalokasikan 0,75 persen; untuk Pemkab/Pemkot dengan nilai APBD di atas Rp2 triliun wajib mengalokasikan 0,50 persen.

Kemudian agar penataan pola kelembagaan APIP yang lebih independen, telah diterbitkan PP No. 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Sejumlah perubahan penting dengan revisi PP tersebut adalah; pertama, penambahan fungsi Inspektorat Daerah untuk mencegah korupsi dan pengawasan reformasi birokrasi; kedua, penambahan kewenangan bagi APIP agar dapat melakukan pengawasan berindikasi kerugian daerah tanpa harus menunggu persetujuan kepala daerah.

Ketiga, pola pelaporan disampaikan secara berjenjang. Artinya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APIP Daerah tidak berhenti di LHP tapi ada supervisi dari Mendagri untuk pemprov dan Gubernur untuk pemkab/pemkot; keempat, penambahan satu Esselon III yang membawahi unit investigasi pelaksanaan supervisi hasil pengawasan Inspektorat Daerah oleh Mendagri bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kelima, pengangkatan dan mutasi inspektur daerah termasuk pembentukan panitia seleksi dilakukan setelah konsultasi kepada Mendagri; dan keenam, Surat Keputusan pengangkatan tenaga APIP di Kabupaten dilakukan oleh Gubernur sedangkan tenaga APIP di Provinsi SK-nya dari Kemendagri.

Baca juga: BPKP: Program CGCAE penting guna tingkatkan kompetensi pimpinan APIP

Meski sudah ada perbaikan aturan namun upaya untuk meningkatkan efektivitas dan independensi APIP masih tetap menjadi pertanyaan besar karena menyangkut kompetensi ASN dan terutama kultur birokrasi yang masih permisif, terlebih dengan kondisi pandemi COVID-19 yang membuat sejumlah daerah mengalami kendala kemampuan fiskal.

Hal itu misalnya tampak dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2017 terhadap Bupati Pamekasan Ahmad Syafii, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Inspektur Pemerintah Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi, dan Kabag Inspektur Kabupaten Pameksan Noer Salehhoeddin dalam kasus korupsi suap terkait penanganan kasus penyalahgunaan dana desa Dassok yang ditangani Kejari Pamekasan.

Kasus lain yang melibatkan inspektorat adalah kasus pemberian suap oleh mantan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Sugito kepada auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri terkait pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian di Kemendes PDTT tahun 2016.

Tidak heran kualitas dan independensi inspektorat baik di pusat maupun daerah pun masih dipertanyakan.

Pulihan Ekonomi

Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2021 bertema "Kawal Efektivitas Belanja, Pulihkan Ekonomi", Kepala BPKP M Yusuf Ateh mengatakan pihaknya telah merancang agenda prioritas pengawasan.

"Ini merupakan upaya kami untuk fokus mengawasi sektor yang krusial, mendorong pemulihan ekonomi dan proses pembangunan dari tingkat pusat maupun daerah," kata Ateh di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis.

Ateh menyebut BPKP juga telah merancang dan sedang melaksanakan evaluasi perencanaan dan penganggaran pada pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan memperbaiki prioritas belanja agar fokus pada kegiatan yang betul-betul memiliki dampak bagi masyarakat.

Selain itu BPKP bersama APIP juga siap mengawal peningkatan kualitas dan integrasi basis data guna mendorong ketepatan dan kecepatan pelaksanaan program pemerintah melalui optimalisasi laboratorium data forensik yang telah dikembangkan.

Dalam acara tersebut, Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa peran utama pengawasan adalah menjamin tercapainya tujuan pemerintah dan belanja anggaran secara akuntabel, efektif dan efisien.

"Mengikuti prosedur itu penting, ya penting, tetapi jauh lebih penting adalah tercapainya target-target yang telah ditetapkan, yang ditunggu-tunggu rakyat adalah hasilnya dan pengawasan harus menjamin tidak ada serupiahpun yang salah sasaran, tidak ada yang disalahgunakan, apalagi dikorupsi," ungkap Presiden.

Baca juga: Mendagri dapat sertifikat Government Chief Audit Executive dari BPKP

Apalagi tahun 2021 menurut Presiden Jokowi adalah tahun percepatan pemulihan ekonomi nasional dengan target pertumbuhan ekonomi pada 2021 adalah 4,5-5,5 persen.

Target pertumbuhan itu hanya dapat dicapai bila pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 mencapai 7 persen atau meloncat jauh dari -0,74 persen pada kuartal I 2021.

"Bukan sesuatu yang gampang, oleh sebab itu seperti yang disampaikan Bapak Ketua BPKP, orkestrasinya ini harus betul-betul terkelola dengan baik," tambah Presiden.

Presiden Jokowi pun menyampaikan tiga pesan yang harus dilakukan oleh seluruh jajaran APIP.

Pertama, percepatan belanja pemerintah terus dikawal dan ditingkatkan apalagi realisasi belanja pemerintah masih rendah.

Menurut Presiden Jokowi, dari total Rp2.750 triliun anggaran belanja pemerintah dalam APBN, baru sekitar 15 persen yang terealisasi sedangkan untuk APBD baru sekitar 7 persen. Serapan belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari total anggaran Rp700 triliun juga masih rendah yaitu baru 24,6 persen.

"Karena itu saya minta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan seluruh aparat pengawas intern pemerintah melihat betul, mencari penyebab lambatnya realisasi belanja anggaran ini, ini ada apa?" ungkap Presiden.

Presiden Jokowi memerintahkan agar APIP dan BPKP untuk memberikan solusi dan menawarkan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut.

"Ini tugas dalam mengawal belanja tadi lalu mengawal agar kementerian, lembaga dan pemerintah daerah bisa merealisasikan belanjanya dengan cepat dan akuntabel," ungkap Presiden.

Kedua, Presiden Jokowi meminta APIP dan BPKP membantu peningkatan kualitas perencanaan.

Presiden menyebut masih melihat masih ada program yang tidak jelas ukuran keberhasilannya, tidak jelas sasarannya, tidak jelas anggaran yang mau disasar apa sehingga tidak mendukung dari tujuan dan tidak sinkron dengan program dan kegiatan lain sehingga kesenjangan arah pembangunan pusat dan daerah masih tidak terjadi.

Baca juga: BPKP-APIP bersinergi kawal program vaksinasi

"Saya melihat, saya ini di lapangan terus, ada waduk, tidak ada irigasinya, irigasi premier, sekunder, tersier, ada itu! Ada bangun pelabuhan baru tapi tidak ada akses jalan ke situ, apa-apaan? bagaimana pelabuhan itu bisa digunakan, ini yang harus terus dikawal," tegas Presiden.

Ketiga, Presiden Jokowi meminta ada perbaikan akurasi data.

"Perihal akurasi data juga masih menjadi persoalan sampai saat ini, dampaknya ke mana-mana contohnya data bansos (bantuan sosial) tidak akurat, tumpang tindih, membuat penyaluran tidak cepat, lambat dan ada yang tidak tepat sasaran, begitu juga data penyaluran bantuan pemerintah lainnya," kata Presiden.

Presiden Jokowi pun memerintahkan agar BPKP dapat mengawal integrasi, sinkroninasi basis data antarprogram untuk meningkatkan keandalan data dengan memanfaatkan laboratorium data forensik dan data analitik.

Selanjutnya Presiden Jokowi meminta agar menteri, kepala lembaga dan kepala daerah mengikuti seluruh rekomendasi BPKP dan APIP.

"Karena semua rekomendasi harus ditindaklanjuti, jangan berhenti direkomendasi, tuntaskan sampai akar masalah sehingga tidak terulang lagi di tahun berikutnya, jangan dibiarkan berlarut-larut, membesar dan dan akhirnya bisa menjadi masalah hukum," ungkap Presiden.

Independensi

Akhirnya independensi dan profesionalitas adalah dua kata kunci agar APIP dapat ikut serta dalam pembangunan Indonesia.

"Independensi APIP merupakan suatu keharusan. Mahkota seorang auditor itu adalah independensi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada 10 September 2020.

Baca juga: Pemprov Jatim maksimalkan APIP kawal anggaran penanganan COVID-19

Alexander mengungkapkan hal tersebut saat membuka pendidikan dan pelatihan (diklat) "Persiapan Sertifikasi Penyuluh Antikorupsi bagi APIP Daerah" secara daring.

"Sekalipun rekan-rekan memiliki kapabilitas dan kapasitas yang memadai, tetapi bila dalam melaksanakan pekerjaan dengan mudah dapat diintervensi oleh pejabat tertentu, maka integritas auditor seketika itu juga akan runtuh," tambah Alexander.

Mampukah APIP menjawab tantangan independensi dan profesionalitas tersebut?

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021