Pengertian saksi fakta tidak sebatas orang-orang yang mendengar, melihat, dan mengalami langsung, tetapi juga mengetahui terjadinya suatu tindak pidana.
Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum (JPU) menolak keterangan yang diberikan oleh dua saksi fakta dari tim penasihat hukum terdakwa Jumhur Hidayat pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Jaksa beralasan keterangan saksi lebih mirip sebagai ahli, bukan sebagai saksi fakta.

Terkait dengan itu, Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Agus Widodo meminta jaksa menuliskan keberatannya itu secara resmi lewat keterangan tertulis.

"Silakan tanggapi saja (lewat keterangan tertulis, red.)," kata Agus saat persidangan.

Baca juga: Dua saksi fakta tegaskan demo tolak Omnibus Law tak diprovokasi Jumhur

Oleh karena itu, jaksa tidak banyak melempar pertanyaan kepada dua saksi fakta yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum, yaitu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati dan Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya.

Terkait dengan keberatan jaksa, anggota tim penasihat hukum Jumhur, Saleh Al Ghifari, meminta jaksa untuk membaca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Putusan MK 65/PUU-VIII/2010).

Ghifari menjelaskan bahwa putusan MK itu telah memperluas makna saksi sehingga dua saksi fakta yang dihadirkan di persidangan, Senin, memberi keterangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Jumhur Hidayat.

MK lewat putusannya itu mengatur bahwa pengertian saksi fakta tidak sebatas orang-orang yang mendengar, melihat, dan mengalami langsung, tetapi juga mengetahui terjadinya suatu tindak pidana.

Oleh karena itu, merujuk pada putusan tersebut, tiap orang yang mengetahui juga dapat dihadirkan sebagai saksi fakta dalam persidangan.

Dengan demikian, anggota tim kuasa hukum Jumhur lainnya, Oky Wiratama, mengatakan bahwa sikap jaksa itu tidak beralasan.

Baca juga: Oky: Saksi sebut cuitan Jumhur bukan pemicu mahasiswa demo UU Ciptaker

"Mereka ini mengetahui, ikut terlibat, ikut tahu bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ini memang sangat cepat dan minim partisipasi masyarakat sipil,” kata Oky saat ditemui di luar ruang sidang menerangkan.

Dalam kesempatan itu, dia menegaskan dua saksi fakta itu telah menegaskan bahwa cuitan Jumhur Hidayat, terdakwa penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, tidak memprovokasi adanya aksi massa yang dapat menyebabkan keonaran sebagaimana dituduhkan oleh jaksa.

"Mereka aksi bukan postingan-nya Jumhur dan mereka aksi atas kajian-kajian mereka sendiri," kata Oky menambahkan.

Jaksa sebelumnya mendakwa Jumhur dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.

Terkait dengan dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Baca juga: Sidang Jumhur Hidayat kembali ditunda karena ahli bahasa jaksa sakit

Dakwaan jaksa itu bersumber pada cuitan Jumhur di media sosial Twitter tertanggal 7 Oktober 2020. Isi cuitan itu, "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2".

Dalam cuitannya, Jumhur turut mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul "35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja".

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021