Jakarta (ANTARA News) - Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938, berarti 17 Agustus nanti dia akan berumur 72 tahun.

Ustad yang disebut garis keras oleh banyak kalangan ini lahir dari ayah keturunan Hadramaut (Yaman) dan ibu berdarah Jawa.

Dia adalah alumunus Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, tahun 1959, sebelum kemudian berkuliah di Fakultas Dakwah, Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah dan lulus pada 1963.

Dia pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Solo, Sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada 1961, dan Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam.

Pada 10 Maret 1972, Ba'asyir mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin, bersama sejumlah kawannya, antara lain Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdillah Baraja.

Al-Mukmin terletak di Ngruki, Solo, Jawa Tengaha. Semula kegiatan pesantren ini terbatas pada diskusi agama selepas salat duhur.

Membanjirnya jumlah jamaah membuat para mubalig dan ustadz kemudian mengembangkan pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah, untuk kemudian menjadi pondok pesantren.

Langganan penjara

Ba'asyir berulangkali dipenjarakan tanpa menjalani pengadilan terlebih dahulu, dari 1978 sampai 1982, semasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Pada 1983, Abu Bakar Ba'asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang menolak asas tunggal Pancasila dan melarang santrinya hormat bendera karena menurutnya itu perbuatan syirik.

Dia juga dianggap bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto), salah seorang tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, Ba'asyir dan Abdullah Sungkar divonis 9 tahun penjara.

Ketika dibebaskan setelah menjalani vonis 1983, dia kembali dijerat tuduhan terlibat pemboman Candi Borobudur pada 1985. Namun, kali ini dia kabur ke Malaysia.

Selama di negeri itu, Ba'asyir mengenalkan pemikiran-pemikiran agamanya di Malaysia dan Singapura. Dia bolak balik di dua negara itu, sampai kemudian Soeharto jatuh pada 1998.

Setahun setelah Soeharto jatuh, Ba'asyir kembali ke Indonesia dan aktif kembali berdakwah, dengan pandangan yang bagi kebanyakan muslim Indonesia dianggap keras.

Ba'asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari organisasi Islam garis keras yang disebut bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.

Menolak putusan

Pada 10 Januari 2002, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji menyatakan pengadilan segera mengeksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba'asyir.

25 Januari 2002, Abu Bakar Ba'asyir memenuhi panggilan untuk mengklarifikasi statusnya ke Mabes Polri. "Pemanggilan itu merupakan klarifikasi dan pengayoman terhadap warga negara," tegas pengacara Abu Bakar Ba'asyir, Achmad Michdan, waktu itu.

19 April 2002, Ba'asyir menolak eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai azas tunggal. Ba'asyir menganggap, Amerika Serikat berada di balik eksekusi putusan yang sudah kadaluwarsa itu.

April 2002, Pemerintah mempertimbangkan memberikan amnesti kepada tokoh Majelis Mujahidin Indonesia KH Abu Bakar Ba'asyir, yang tahun 1985 dihukum selama sembilan tahun oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai melakukan tindak pidana subversi menolak asas tunggal Pancasila.

Dari pengecekan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, ternyata Ba'asyir memang belum termasuk tahanan politik/narapidana politik yang memperoleh amnesti dan abolisi baik dalam masa pemerintahan Presiden Habibie maupun massa Abdurrahman Wahid.

8 Mei 2002, Kejaksaan Agung akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Agung itu. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Kejagung menyarankan Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk memintakan amnesti bagi Ba'asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dibebaskan

8 Agustus 2002, Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk pimpinan Mujahidin di mana Ustad Abu Bakar Ba'asyir terpilih sebagai ketua Mujahidin sementara.

19 September 2002, Ba'asyir terbang ke Medan dan Banjarmasin untuk berceramah. Dari sana, ia kembali ke Ngruki untuk mengajar di pesantrennya.

1 Oktober 2002, Abu Bakar Ba'asyir mengadukan Majalah TIME karena berita yang ditulis majalah itu pada 23 September 2002 dianggapnya "trial by the press" dan mencemarkan nama baiknya. Ba'asyir membantah semua tudingan yang diberitakan TIME bahwa ia mengenal teroris Umar Al-Farouq.

11 Oktober 2002, dia meminta pemerintah membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia menyusul pengakuannya yang mengatakan mengenal dirinya. Ba'asyir mengatakan, sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia.

17 Oktober 2002, Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan kepadanya sebagai tersangka, namun Ba'asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya oleh TIME.

18 Oktober 2002, Ba'asyir ditetapkan tersangka oleh Polri menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Mabes Polri di Afganistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.

3 Maret 2005, Ba'asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003. Dia divonis 2,6 tahun penjara. Tapi pada 17 Agustus 2005, masa tahanan Ba'asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari. Dan dibebaskan pada 14 Juni 2006. (*)

sumber: Wikipedia/jafar sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010