Jakarta (ANTARA) -
Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPP Polri) menyerukan semua pihak untuk melawan dan menghadapi intoleransi, radikalisme dan terorisme.
 
Ketua Umum Pengurus Pusat KBPP Polri yang juga anggota DPR RI Evita Nursanty, di Jakarta, Kamis, berpendapat, intoleransi, radikalisme dan terorisme harus dilawan secara bersama-sama atau bergotong royong semua komponen Bangsa Indonesia. Semangat gotong royong harus dibangun demi menciptakan Indonesia bersatu, damai, dan sejahtera.
 
“Sikap gotong royong adalah karakter dan kepribadian masyarakat Indonesia, dan merupakan wujud pengalaman Pancasila. Kita tidak bisa sendiri-sendiri tapi harus bergotong royong melawan intoleransi, radikalisme dan terorisme. Kita punya nilai-nilai itu dalam darah kita,” kata Evita.
KBPP Polri mengutuk keras aksi terorisme yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, dan mendukung langkah-langkah Polri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan membongkar serta menindak jaringan itu sampai ke akar-akarnya.
 
Evita menyampaikan itu menanggapi aksi terorisme yang terjadi di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu 28 Maret 2021 pagi, dan penyerangan yang dilakukan perempuan bersenjata yang diduga pendukung ISIS di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 31 Maret 2021.
 
“Kami mengutuk keras aksi-aksi yang tidak berperikemanusiaan ini, dan mendukung langkah Kapolri dan jajarannya membongkar dan menindak jaringan teror ini. Kami juga berharap Polri tetap mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam bertugas meskipun tanpa mengurangi kinerja pelayanan kepada masyarakat,” ucap Evita.
 
Menurut Evita, sebagai bentuk dukungan kepada Polri, dirinya telah memerintahkan seluruh jajaran organisasi KBPP Polri dari pusat sampai tingkat paling bawah atau pimpinan sektor dan subsektor di daerah untuk waspada dan terus membantu tugas-tugas kepolisian.
 
Terutama lanjut dia dalam rangka antisipasi dini kegiatan yang berhubungan dengan intoleransi, radikalisme dan terorisme.
 
Dia juga mengimbau agar masyarakat semakin menyadari bahaya terorisme masih belum habis di Indonesia dan para pelaku masih terus aktif melakukan rekrutmen terutama kepada generasi muda usia 17 tahun sampai 35 tahun, termasuk menyasar dunia pendidikan.
 
Apalagi, menurut Evita dalam peristiwa terakhir ini, termasuk yang terjadi di Surabaya dan daerah lainnya beberapa tahun lalu, melibatkan kaum perempuan.
 
Evita mengutip survei sebelumnya yang menurutnya sangat memprihatinkan, misalnya hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) yang menyatakan 52 persen pelajar setuju dengan aksi radikalisme.
 
Kemudian survei PPIM UIN belum lama ini menyebut sebanyak 30 persen mahasiswa memiliki sikap intoleran terhadap agama yang berbeda.
 
Selain itu, penelitian PPIM UIN juga mendapatkan data bahwa radikalisme di lingkungan pendidikan sudah berkembang ke arah yang harus diwaspadai secara serius, apalagi ditemukan sebanyak 23 persen guru dan dosen memiliki opini yang radikal. Di antaranya 8,4 persen sudah diwujudkan dalam aksi-aksi radikal.
 
“Ini menjadi warning bagi para orang tua untuk mengawasi anak-anak jangan sampai terpapar radikalisme dan terorisme apalagi mereka sangat aktif menyasar anak-anak kita dari semua sisi termasuk di lingkungan pendidikan yang makin mudah berkat adanya sosial media," katanya.
 
Hal itu kata dia harus jadi problem bersama. Menurut Evita saat ini memang sangat membutuhkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur tapi jangan lupa membangun suprastruktur.
 
Para orang tua perlu mencermati ciri-ciri orang yang terpapar paham radikal, yaitu menutup diri dan menghabiskan waktu dengan komunitas yang dirahasiakan, merasa diri paling benar, serta mengajarkan kekerasan, kebencian, dan intoleransi.
 
“Orang tua harus mencermati itu, dan jika ditemukan ciri-ciri itu harus diarahkan dengan benar,” ujarnya.
 

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021