Jakarta (ANTARA News) - Petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia menemui anggota Badan Legislasi DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu, terkait pembahasan regulasi mengenai tembakau di parlemen.

Dalam pertemuan, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nurtantio Wisnu Brata meminta DPR dan pemerintah mengutamakan kepentingan petani tembakau dan cengkeh Indonesia daripada menyukseskan agenda antitembakau global yang bukan agenda Indonesia.

"Jika hari ini kita bebaskan Indonesia dari tembakau dengan segala industrinya, siapa yang dapat menjamin hak hidup petani tembakau dan cengkeh? Apakah pihak-pihak yang mengkampenyakan agenda antitembakau? Saya yakin mereka tidak pikirkan nasib petani tembakau dan cengkeh bersama keluarganya," kata Wisnu.

Wisnu mengungkapkan, berdasarkan data BPS tahun 2008, di Indonesia tercatat sekitar 2,4 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh. Jika setiap petani mempunyai satu istri dan tiga anak, maka ada 15,6 juta manusia Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari produk tembakau.

Menurut Wisnu, regulasi baik undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang tidak memperhatikan kepentingan petani tembakau dan cengkeh, sama saja dengan mengabaikan hak hidup 15,6 juta rakyat Indonesia. Demikian juga dengan regulasi yang mematikan industri tembakau dalam negeri.

"Pertama-tama yang terkena imbasnya adalah petani di sentra tembakau, seperti Temanggung, Magelang, Boyolali, Klaten, Wonosobo, Kendal dll di Jawa Tengah dan belum di daerah provinsi lain seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Utara," kata Wisnu.

Wisnu juga mengungkapkan bahwa Indonesia adalah produsen cengkeh terbesar di dunia dan ketujuh terbesar untuk tembakau. Pilihan tanaman tembakau didasarkan pada kondisi wilayah pertanian yang

rasional dan menguntungkan. Petani tidak akan memilih tembakau kalau tanaman itu tidak mengungtungkan. Pilihan petani ini mendapat perlindungan dari UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Pasal 6 ayat (1) UU tersebut menetapkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihanan jenis tanaman dan pembudidayaannya. UU ini memberikan perlindungan hukum bagi petani tembakau.

Dalam audiensi dengan Baleg DPR RI itu, petani tembakau dan cengkeh menyatakan dengan tegas penolakan terhadap regulasi yang diskrimatif dan ekstrim seperti dalam Pasal 113 UU Kesehatan.

Pasal ini menjadi dasar hukum bagi lahirnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan.

"Yang dikatakan mengandung zat adiktif itu `kan tidak hanya tembakau. Kopi, contohnya, juga mengandung zat adiktif yang bisa membahayakan kesehatan. Tetapi kenapa hanya tembakau yang dibuatkan regulasi pengamanan? Ini `kan diskriminatif!," kata Wisnu.

Penolakan dari petani tembakau ini dinilai oleh pengamat prakarsa bebas tembakau, Gabriel Mahal sebagai hal yang wajar. Bahkan, Gabriel meminta kepada DPR untuk meneliti kembali ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan itu.

Menurut Gabriel, ketentuan itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari agenda antitembakau. "Untuk itu pemerintah dan DPR harus meneliti apa paham dan ideologi di balik agenda antitembakau itu," kata Gabriel.

Berdasarkan hasil kajian dari Vincent-Riccardo Di Pierri dalam bukuberjudul "Rampant Antismoking Signifies Grave Danger: Materialism Out Of Control", ideologi dan paham di balik agenda antitembakau itu adalah materialisme.

(ANT/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010