lebih diutamakan untuk persuasif dan pembinaan,
Yogyakarta (ANTARA) - Sejak diberlakukan secara penuh pada 2018, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Yogyakarta masih mengutamakan penerapan sanksi persuasif dan pembinaan, sehingga belum ada pelanggar yang dibawa ke ranah yustisi untuk kemudian diberi sanksi denda.

“Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) memang memungkinkan untuk pemberian sanksi pidana berupa kurungan atau denda bagi pelanggar. Tetapi sampai sekarang memang lebih diutamakan untuk persuasif dan pembinaan,” kata Kepala Seksi Pembinaan Potensi Masyarakat Satpol PP Kota Yogyakarta Suwarna, di sela diskusi Perda KTR, di Yogyakarta, Rabu.

Sejumlah sanksi yang diatur di dalam perda tidak hanya ditujukan bagi masyarakat atau orang pribadi yang melanggar aturan kawasan tanpa rokok, misalnya merokok di tempat yang tidak diperbolehkan atau merokok selain di tempat khusus merokok yang sudah disediakan.

Pemberian sanksi juga bisa diberikan kepada badan atau pengelola atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok, apabila tidak memberikan fasilitasi seperti tempat khusus merokok.

Sesuai Perda KTR itu, ancaman sanksi pidana yang diberikan adalah hukuman maksimal satu bulan kurungan atau denda maksimal Rp7,5 juta.

“Kami pun akan melakukan penguatan internal untuk personel Satpol PP, agar bisa menjalankan perda dengan optimal. Personel penertiban pun harus bisa melaksanakan Perda KTR sesuai dengan aturan yang berlaku,” katanya pula.

Kawasan tanpa rokok yang diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2017 meliputi sejumlah kawasan, yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, kantor pemerintahan atau swasta, tempat umum termasuk tempat wisata, angkutan umum, tempat ibadah, tempat bermain anak dan tempat lain yang ditetapkan.

Untuk fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, otomatis menjadi kawasan yang harus bebas rokok. Bahkan tidak perlu disediakan tempat khusus merokok.

Pada November 2020, Pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan Kawasan Malioboro sebagai kawasan tanpa rokok. Sebanyak empat tempat khusus merokok pun disediakan di sepanjang kawasan utama wisata di Kota Yogyakarta tersebut.

Petugas keamanan Malioboro, Jogoboro pun diminta melakukan pengawasan terhadap pengunjung, dan rata-rata terdapat 200 hingga 300 pengunjung per hari yang melanggar aturan kawasan tanpa rokok karena merokok di sembarang tempat.

“Jumlah pelanggar masih banyak, karena wisatawan datang silih berganti. Kami sudah ingatkan melalui radio di sepanjang Malioboro, tetapi ada saja wisatawan yang tidak tahu jika Malioboro adalah kawasan tanpa rokok,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Kawasan Cagar Budaya Ekwanto.

Hingga saat ini, lanjut dia, pelanggar KTR di Malioboro hanya sebatas diingatkan dan foto penindakan diunggah ke media sosial untuk mengingatkan pengunjung lain agar mematuhi aturan.

Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, penerapan sanksi denda kepada pelanggar KTR seharusnya sudah bisa untuk mulai diterapkan, namun terkendala pandemi COVID-19.

“Jika harus membayar sanksi denda karena melanggar KTR, maka dikhawatirkan menambah beban masyarakat. Sebenarnya kami ingin memberikan sanksi lebih tegas, namun yang bisa dilakukan sekarang baru pada persuasif dan pembinaan,” katanya pula.

Heroe menyebut, penerapan KTR sejalan dengan upaya pencegahan penularan COVID-19, karena merokok dinilai meningkatkan kerentanan tertular Virus Corona.

“Protokol kesehatan sudah harus mulai menerapkan 5M+1TM yaitu tidak merokok. Kami akan dorong penerapan protokol kesehatan ini di kawasan wisata dan juga tempat umum lainnya yang berpotensi menjadi tempat pertemuan orang dalam jumlah banyak,” katanya lagi.

Sejumlah indikator yang bisa dijadikan sebagai acuan keberhasilan Perda KTR adalah penambahan tempat yang mendeklarasikan diri sebagai kawasan tanpa rokok dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok sembarangan, kata dia.
Baca juga: Bantu sosialisasikan KTR, milenial Yogyakarta terjun ke Malioboro
Baca juga: Perda kawasan tanpa rokok di Yogyakarta berlaku April 2018

Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021