Mataram (ANTARA) - Keluarga empat ibu rumah tangga (IRT) terdakwa kasus dugaan perusakan bangunan pabrik tembakau di Desa Wajegeseng, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena merasa terancam.

"Kami merasa selama ini tidak aman, kami meminta perlindungan dari LPSK selama kasus ini masih berjalan," kata Arian (53), salah seorang keluarga empat ibu terdakwa ketika ditemui di rumahnya di Desa Wajegeseng, Kabupaten Lombok Tengah, Rabu.

Arian yang akan ikut bersaksi di pengadilan juga mengaku sudah mendapatkan berbagai macam intimidasi sebelum empat ibu rumah tangga di desanya dijadikan tersangka.

"Kalau intimidasi sudah ada berupa pelemparan batu ketika saya bersama beberapa warga berada di pos ronda pada malam hari. Saya tidak tahu siapa yang melakukan. Kejadian itu kami laporkan ke kepala dusun," ujarnya.

Baca juga: Puluhan advokat berikan bantuan hukum kasus IRT ditahan bersama balita
Baca juga: Kasus IRT lempar pabrik rokok, Polri: Sudah 9 kali mediasi tapi gagal
Baca juga: 4 IRT ditahan karena mediasi gagal dan pelapor tak cabut laporan
Baca juga: Viral ibu ditahan bersama balitanya, Sahroni: Segera bebaskan


Arian menambahkan tindakan intimidasi juga terjadi setelah dirinya bersama beberapa warga menyampaikan aspirasi ke Komisi II DPRD Kabupaten Lombok Tengah, terkait keberadaan pabrik tembakau di desanya yang dikeluhkan masyarakat.

"Sepertinya ada oknum warga yang merasa tidak senang dengan tindakan kami mengadu ke dewan. Oknum warga itu menggeber knalpot sepeda motor di sekitar lingkungan rumah," tuturnya.

Sebelumnya, kata dia, tiga orang warga juga sudah dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan pencemaran nama baik ketika mengikuti mediasi di kantor desa terkait penyampaian aspirasi penutupan pabrik tembakau pada pertengahan 2020.

Tiga orang warga itu dipanggil oleh polisi, namun sampai saat ini belum ada perkembangan terkait pelaporan kasus dugaan pencemaran nama baik tersebut.

"Saya heran kok bisa dilaporkan mencemarkan nama baik, padahal dalam pertemuan mediasi tersebut, ada kapolsek, bhabinkamtibmas, babinsa, kepala desa, kadus, dan BPD," ucap Arian.

Ia juga berharap agar empat ibu rumah tangga yang sekarang berstatus terdakwa dan akan menjalani sidang di pengadilan, bisa dibebaskan dari tuntutan penahanan.

Harapan tersebut juga sudah disampaikan ke Komisi IV DPRD Kabapaten Lombok Tengah, ketika empat terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Praya.

"Alhamdulillah perjuangan kami berbuah walaupun sekedar penangguhan penahanan. Kami sangat berterima kasih kepada anggota dewan dan pemerintah serta para pemerhati perempuan yang beramai-ramai memberikan pembelaan," kata Arian.

Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia wilayah NTB Lilik Agustianingsih, yang juga memberikan pendampingan bagi empat ibu terdakwa, mengatakan pihaknya akan mengkomunikasikan dengan LPSK terkait dengan permohonan permintaan perlindungan saksi dan korban.

"Kami akan komunikasikan dulu, apakah memang perlu ada pendampingan dari LPSK atau seperti apa. Persyaratan juga seperti apa, laporan yang harus dibuat seperti apa, karena kami belum tahu prosedurnya seperti apa," ujarnya.

Untuk diketahui, empat ibu rumah tangga berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, masuk penjara bersama anak balita yang merupakan anaknya.

Keempat ibu itu diduga melakukan perusakan atap gudang pabrik tembakau yang ada di desa setempat pada Desember 2020. Mereka diduga melempar atap gudang menggunakan batu, karena merasa terganggu dengan bau tembakau yang menyengat.

Warga setempat juga melakukan penolakan terhadap keberadaan pabrik tembakau tersebut, karena mengeluhkan dampak lingkungan pabrik terkait bau yang dikeluarkan dari lokasi pabrik.

Adapun kerugian material yang ditimbulkan akibat perusakan tersebut sekitar Rp4,5 juta, sehingga empat ibu rumah tangga itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Pewarta: Awaludin
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021