Harus jelas dan definitif kriteria pengusaha yang melaksanakan hilirisasi tersebut, yang dibuktikan dengan produk hilirisasi yang ekonomis. Bukan sekadar asal-asalan untuk memenuhi formalitas persyaratan guna mendapatkan dispensasi 0 persen royalti
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyatakan pemerintah harus selektif dan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pembebasan royalti 0 persen terhadap perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi.

"Harus jelas dan definitif kriteria pengusaha yang melaksanakan hilirisasi tersebut, yang dibuktikan dengan produk hilirisasi yang ekonomis. Bukan sekadar asal-asalan untuk memenuhi formalitas persyaratan guna mendapatkan dispensasi 0 persen royalti," kata Mulyanto dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.

Pemerintah telah mengeluarkan aturan pembebasan royalti bagi perusahaan perusahaan tambang batu bara yang melakukan hilirisasi, seiring dengan terbitnya turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.

Baca juga: Anggota DPR: Tindak perusahaan batu bara tidak penuhi pasar domestik

Aturan pembebasan royalti itu tercantum dalam Bab II Pasal 3. Di dalamnya tertulis, pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan royalti 0 persen.

"Pemerintah harus memperhatikan ketentuan UU Minerba terkait hilirisasi batu bara, sehingga pendapatan negara atas hilirisasi batu bara lebih besar daripada penerimaan negara dari royalti selama ini," tegasnya.

Mulyanto menginginkan Menteri ESDM dan Menteri Keuangan betul-betul mengawasi pelaksanaan ketentuan ini. Jangan sampai klausul ini menjadi modus baru bagi kebocoran keuangan negara.

Baca juga: DPR ingin program sektor energi nasional tidak tumpang tindih

Ia mengutarakan harapannya agar ketentuan ini dapat menekan nilai impor komoditas energi sehingga dapat menurunkan defisit transaksi berjalan sekaligus menguatkan ketahanan energi nasional, serta diharapkan dapat mengundang investasi dan menyerap tenaga kerja baru.

"Filosofinya sudah sangat bagus. Namun kalau pengaturan dan pengawasannya lemah maka bisa jadi dimanfaatkan sebagai celah bagi pengusaha tambang untuk lari dari kewajiban membayar royalti mereka kepada negara," ujar Mulyanto.

Sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov meminta pemerintah memberikan insentif ke sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia agar berkembang.

"Insentif diperlukan sebab investasi pembangkit EBT masih tergolong mahal dibandingkan pembangkit batu bara," ujar Abra Talattov dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (29/1).

Menurut dia, insentif dari pemerintah juga tidak harus berupa fiskal. Insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi juga perlu dimaksimalkan.

Abra mengatakan pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap oleh pasar di dalam negeri.

Saat ini, ia menyampaikan bahwa bauran EBT masih jauh dari target yang ingin dicapai pemerintah pada 2025, yaitu sebesar 23 persen. Pada 2020, baru mencapai 11,51 persen.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021