Jakarta (ANTARA) - Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Lara Rizka menilai, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) tidak serta merta mempengaruhi harga rokok yang beredar di pasaran.

“Kalau untuk melihat dampak kenaikan tarif cukai ke konsumsi rokok, kita perlu lihat juga bagaimana dia mempengaruhi harga rokok di pasaran. Walaupun secara teori tarif cukai naik harga rokok juga naik, tapi secara praktis itu tidak terjadi. Kalau pun ada rokok yang naik, pembeli masih bisa memilih rokok yang lebih murah," ujar Lara dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menaikkan tarif cukai hasil tembakau rata-rata tertimbang sebesar 12,5 persen pada tahun ini yang mulai berlaku sejak 1 Februari 2021 lalu.

Beleid Kemenkeu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 itu juga menyatakan bahwa Harga Transaksi Pasar (HTP) diperkenankan hingga 85 persen dari Harga Jual Eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai hasil tembakau.

Kendati demikian, masih banyak ditemukan rokok yang dijual dengan harga murah dan jauh dari harga banderol yang tercantum pada pita cukai. Untuk itu Lara mendukung tindakan tegas di lapangan oleh pihak berwenang.

"Kalau itu fokusnya ke penindakan, jadi yang bisa melakukan adalah Bea Cukai. Kita hanya bisa bergantung ke petugas Bea Cukai untuk menindak kalau ada yang melanggar aturan," kata Lara.

Lara juga melihat bahwa evaluasi besar saat ini adalah harus bisa melihat pengendalian tembakau sebagai investasi masa depan.

"Jadi kalau kita kontrol konsumsi rokok sekarang, efeknya akan terlihat di masa depan, seperti ada pengurangan penyakit. Jadi misalnya hari ini cukai naik, apakah orang-orang akan berhenti merokok? Kan nggak otomatis. Pasti ada pengurangannya bertahap," ujar Lara.

Sebelumnya, peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Reny Nurhasanah mengatakan bahwa rokok murah akan meningkatkan peluang anak untuk merokok.

"Kami mengolah sampel dari 7.000 orang. Ternyata, prevalensi anak itu tergantung pada harga dan teman sebaya. Harga jelas ya, mereka belum punya uang sendiri, untuk teman sebaya, terutama remaja yang lebih percaya pada teman sendiri. Jadi makin mahal harga rokok maka akan makin kecil peluang anak untuk merokok. Ini efektif pada anak usia SMA," ujar Reny.

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kebijakan cukai ke depan akan lebih fokus pada pengendalian konsumsi rokok. Sehingga sudah seharusnya baik aturan maupun pengendalian di lapangan dapat dilakukan secara beriringan dan konsisten.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan produksi rokok akan turun hingga 3,3 persen tahun ini setelah pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau 12,5 persen pada tahun ini.

BKF memprediksi angka prevalensi merokok dewasa akan turun menjadi 32,3 hingga 32,4 persen dan anak-anak hingga remaja turun menjadi 8,8 hingga 8,9 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, angka prevalensi merokok anak ditargetkan mencapai 8,7 persen pada 2024.

Baca juga: Cukai naik, Kemenkeu estimasi produksi rokok turun hingga 3,3 persen
Baca juga: Penerimaan cukai rokok capai Rp146 triliun
Baca juga: Pengusaha khawatirkan kenaikan tarif cukai picu gelombang PHK

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021