Sejak 2008 hingga 2019 IPK Indonesia tidak pernah turun.
Jakarta (ANTARA) - Mantan pimpinan KPK Laode M. Syarif mengatakan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 menjadi lampu merah bagi pemberantasan korupsi.

"Penurunan IPK ini jangan dianggap enteng, kita kembali 5 tahun ke belakang, ini betul-betul lampu merah bukan lagi lampu kuning," kata Laode dalam diskusi virtual yang diadakan Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Kamis.

Pada hari ini TII memaparkan IPK Indonesia pada tahun 2020 mengalami penurunan, yaitu melorot 3 poin dari skor 40 pada tahun 2019 menjadi 37 pada tahun 2020. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Hal itu menyebabkan peringkat Indonesia di antara negara-negara juga ikut turun, yaitu berada di peringkat 102 dibanding pada tahun 2019 yang ada di peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei. Skor dan peringkat Indonesia sama seperti salah satu negara di benua Afrika, Gambia.

Baca juga: Mahfud MD sudah prediksi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia turun

"Siapa yang paling bertanggung jawab? IPK ini stakeholder pertama adalah MPR, DPR, Presiden karena paling rentan korupsi politik. Selanjutkan aparat penegak hukum, yaitu polisi, KPK, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung," kata Laode.

Laode mencatat sejak 2008 hingga 2019 IPK Indonesia tidak pernah turun.

Pada tahun 2008, skor IPK Indonesia adalah 26, selanjutnya 28 (2009), 30 (2010), 30 (2011), 32 (2012), 32 (2013), 34 (2014), 36 (2015), 37 (2016), 37 (2017), 38 (2018), dan 40 (2019).

"World Justice Project terkait persepsi mengenai pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer memang naik skornya dari 21 menjadi 23. Akan tetapi, masih jadi yang paling rendah jangan disyukuri. Kualitas penegakan hukum menjadi paling kurang, jadi tugas kami adalah memperbaiki kualitas parpol dan memperbaiki kualitas sektor penegakan hukum," kata Laode.

Korupsi sektor politik, menurut Laode, nyata dari sejumlah tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK berasal dari seluruh partai politik di DPR.

"Hasil dari politcal corruption adalah ada 262 anggota DPR saat ini yang merupakan pengusaha sehingga sangat rentan konflik kepentingan. Buktinya adalah revisi UU KPK hanya dalam 2 minggu, revisi UU Minerba hanya dalam 4 minggu dan UU Cipta Kerja," ungkap Laode.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2020 melorot 3 poin

Sejumlah masalah yang terdapat di parpol, menurut Laode, adalah kaderisasi dan rekrutmen yang tidak berjalan, keuangan parpol tidak transparan, kode etik yang tidak diberlakukan, dan hilang integritas parpol.

"Korupsi akhirnya merusak demokrasi, merusak pasar, meruntuhkan hukum, melanggengkan pelanggaran HAM, dan menyebabkan kejahatan lain berkembang dan menurunkan kualitas hidup," tambah Laode.

TII merilis IPK Indonesia 2020 yang mengacu pada 9 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori.

Interval pengambilan data medio setahun terakhir sampai dengan Oktober 2020 yang mengukur persepsi pebisnis dan pakar.

Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 85), diikuti Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), Timor Leste (40). Namun Indonesia masih di atas Vietnam dan Thailand (skor 36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), Kamboja (21)

Negara dengan skor IPK 2020 terbesar adalah Denmark dan Selandia Baru pada skor 88, diikuti Finlandia, Singapura, Swedia dan Swis (85), Norwegia (84), Belanda (82), Jerman dan Luxembourg (80), sementara IPK terendah adalah Somalia dan Sudan Selatan di posisi 180 (skor 12), Suriah di posisi 178 (skor 14), dan Yaman serta Venezuela di posisi 176 (skor 15).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021