Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan pemolisian masyarakat atau ‘community policing’ memiliki gagasan yang sama dengan ronda keliling, memperkuat daya tahan masyarakat.

”Tetapi kan tidak bisa bahasa seperti ronda keliling itu dimasukkan ke dalam dokumen resmi seperti Perpres. Tapi intinya ini adalah penguatan daya lenting atau resiliensi (daya tahan) di masyarakat. Jadi masyarakat punya kemampuan untuk mendeteksi,” ujar Mujtaba Hamdi dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.

Hal ini disampaikannya terkait dengan polemik kata Pemolisian Masyarakat dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE). Padahal Perpres tersebut dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap paham ekstrimisme.

Menurut dia, ketika mendeteksi dini masyarakat terhubung dengan otoritas terkait sehingga tidak main hakim sendiri, sehingga dari deteksi dini ini masyarakat akan memiliki kemampuan kohesi sosial, bagaimana mencegah potensi konflik dari isu yang kerap dieksploitasi oleh kelompok ekstrimis ini.

”Hal tersebut dapat dicegah jika dideteksi lebih awal, hanya memang bahasa ‘community policing’ ini belum terlalu akrab di telinga masyarakat kita. Dan kami sendiri dari Wahid Foundation juga mengapresiasi terbitnya Perpres RAN-PE ini,” tutur Mujtaba.

Lebih lanjut pria yang juga dosen Sosiologi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) itu mengatakan pihaknya menilai kebijakan tersebut adalah usaha negara untuk melakukan perlindungan terhadap hak rasa aman dari warganya.

Baca juga: Di balik maksud pemolisian masyarakat oleh pemerintah

Kemudian, menurut dia, RAN-PE ini juga melakukan pendekatan partisipatif dengan cara ‘pull government’ dan ‘pull society approach’.

“Karena tidak hanya melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) saja, tetapi juga masyarakat umum, sehingga pendekatannya partisipatif. Ini juga sesuai karena yang menjadi target untuk pencegahan ekstrimisme kekerasan ini bukan hanya sekedar peristiwa esktrimisme kekerasannya saja, tetapi bagaimana mencegah faktor-faktor yang menjadi pendorong kemunculannya,” jelasnya.

Ia mengatakan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya ekstrimisme tersebut kompleks dan multi aspek sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan banyak sektor.

”Tentunya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagai koordinator penanggulangan terorisme dapat melakukan konsolidasi segera dengan K/L terkait. kemudian juga membuka konsultasi dengan masyarakat sipil untuk membuka ruang diskusi terkait hal ini,” katanya.

ia juga menyampaikan agar BNPT secepatnya melakukan sosialisasi kepada K/L dan masyarakat secara intensif terkait RAN-PE ini guna menghindari kesalahpahaman dan menajamnya keterbelahan di masyarakat yang dipicu oleh ekstrimisme dan hal itu penting untuk disebutkan di awal.

Baca juga: Anggota DPR: Perpres RAN-PE tegaskan komitmen atasi ekstremisme

”Kalau kemudian ini dituduh ‘abuse of power’ dan menciptakan pembelahan di masyarakat, kita harus merespon bahwa ini justru dibuat sebagai upaya untuk tidak mempertajam pembelahan di masyarakat yang diakibatkan oleh ideologi yang ekstrimis itu,” katanya.

Oleh sebab itu dalam rangka sosialisasi RAN-PE, ia berharap BNPT dapat menggandeng kelompok sosial keagamaan yang memiliki basis massa yang cukup luas untuk kemudian bersama-sama menyampaikan bahwa RAN-PE ini hadir sebagai upaya pemerintah untuk mencegah ekstrimisme di masyarakat.

”Saya kira itu yang harus dilakukan supaya tidak timbul kesalahpahaman di masyarakat. Karena kalau soal penegakan hukum, saya kira sudah ada protokol sendiri untuk itu. Penguatan resiliensi (daya tahan) di masyarakat ini penting karena bisa juga untuk menghindari kehadiran pemerintah secara eksesif di masyarakat,” kata peraih gelar Master bidang Antropologi, FISIP Universitas Indonesia tersebut.

Karena menurutnya, jika terkait dengan daya tahan di masyarakat ini juga ditangani oleh kepolisian, justru bisa runyam. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa memang harusnya yang bergerak adalah masyarakatnya.

Sementara Pemerintah memfasilitasi bagaimana masyarakat ini memiliki daya tahan tinggi dan punya kemampuan untuk cegah dini, respon dini, tanpa harus semuanya melibatkan aparat keamanan.

”Karena menurut saya akan menjadi tidak sehat jika semua aspek, seperti polisi terlibat atau tentara terlibat disitu. Nah hal inilah yang tidak dilhat secara menyeluruh oleh beberapa pihak di luar sana,” ujarnya mengakhiri.

Baca juga: Moeldoko jelaskan Perpres Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme

Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021