Setiap individu itulah dituntut bertanggungjawab pada proses menuju kekebalan secara komunal
Jakarta (ANTARA) - Indonesia akhirnya mulai menjalani proses mewujudkan kekebalan komunitas (herd community) dari ancaman SARS-Cov-2, varian virus corona penyebab infeksi COVID-19.

Proses yang akan berkelanjutan itu sudah dimulai ketika Presiden Joko Widodo bersama sejumlah kalangan menerima suntikan vaksin corona, baru-baru ini. Ketika kekebalan komunitas itu nantinya terwujud, itulah modal awal bersama yang akan memampukan masyarakat memulihkan semua aspek kehidupan.

Sebagaimana telah dialami semua orang, pandemi COVID-19 telah mengubah persepsi bersama tentang dinamika kehidupan di ruang publik. Semuanya tiba-tiba berubah begitu ekstrem karena ragam pembatasan sosial yang harus dan wajib dilaksanakan. Tak ada keleluasaan dalam bekerja dan kegiatan produktif lainnya.

Bahkan, anak dan remaja pun tak bisa belajar di sekolah dan kampus. Setelah selama 10 bulan menjalani pembatasan sosial itu, semua orang pasti ingin agar ragam pembatasan sosial bisa segera diakhiri.

Karena itu, menjadi sangat penting dan strategis jika seluruh elemen masyarakat bertekad dan partisipatif mewujudkan kekebalan komunitas dengan menerima suntikan vaksin corona atau vaksinasi. Ibarat sebuah pertaruhan, kekebalan komunitas untuk semua masyarakat Indonesia harus bisa diwujudkan, karena SARS-CoV-2 masih akan ada dalam kehidupan setiap komunitas kendati vaksinasi corona sudah dilaksanakan.

Lagi pula, sukses mewujudkan kekebalan komunitas dari ancaman SARS-CoV-2 akan menguntungkan semua orang dan dari semua usia. Sebagaimana sudah ditegaskan Presiden Jokowi bahwa terwujudnya kekebalan komunitas berkat vaksinasi akan menjadi titik balik dari krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020.

Terwujudnya kekebalan komunitas akan mendorong keberanian masyarakat untuk memulai lagi semua kegiatan produktif. Anak serta remaja bisa kembali belajar di sekolah atau kampus, dan tentu saja terbuka ruang bagi kerja pemulihan ekonomi yang saat ini masih terperangkap resesi.

Vaksinasi masyarakat untuk mewujudkan kekebalan komunitas di dalam negeri praktis menjadi sebuah pekerjaan besar yang bisa saja tidak mudah. Target jumlah orang yang disuntik vaksin corona mencapai 181,5 juta jiwa, sedangkan setiap orang harus menerima dua kali suntikan.

Artinya, tak hanya butuh tenaga kesehatan dalam jumlah banyak, tetapi juga butuh waktu yang relatif tidak sebentar.

Belum lagi jika memperhitungkan faktor ketersediaan vaksin. Untuk mewujudkan kekebalan komunitas itu, Indonesia butuh 426 juta dosis vaksin.

Jumlah ini dipesan dari empat produsen di beberapa negara. Pemerintah tampaknya yakin, sehingga Presiden Jokowi telah mendorong semua satuan kerja di bidang kesehatan agar bisa menuntaskan vaksinasi sebelum berakhirnya tahun 2021.

Baca juga: Erick optimistis vaksinasi tenaga kesehatan motivasi perangi COVID-19

Ketika Presiden Jokowi menerima suntikan pertama vaksin Sinovac di Istana Kepresidenan pada Rabu (13/1), itulah langkah awal membangun kembali harapan akan pulihnya dinamika kehidupan.

Selama 10 bulan sejak kasus COVID-19 pertama terdeteksi di Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, kehidupan bersama terasa begitu kelam. Akibat ketidaktahuan komunitas global tentang virus ini, banyak orang seperti kehilangan harapan. Bahkan, ada ungkapan "kehidupan tidak akan sama lagi akibat pandemi ini".

Namun, berkat akal budi manusia, harapan itu bisa ditumbuhkan lagi. Para ahli berhasil memformulasikan vaksin untuk melumpuhkan daya rusak SARS-CoV-2. Dibandingkan dengan pandemi global flu Spanyol satu abad yang lalu, respons komunitas global terhadap SARS-CoV-2 praktis lebih cepat. Durasi flu Spanyol jauh lebih lama.

Sejarah mencatat, flu Spanyol yang menulari tak kurang dari 500 juta orang di seluruh dunia itu dimulai Februari 1918 dan dinyatakan berakhir pada April 1920, sedangkan kasus COVID-19 pertama terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, pada November 2019, dan kurang dari setahun vaksin penangkalnya sudah mulai diuji coba.

Oleh karena SARS-CoV-2 tetap mengintai, vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas saja tidak cukup. Maka, setiap individu dituntut tetap menjalani kehidupan dengan disiplin yang ketat, antara lain tetap menjalankan protokol kesehatan, antara lain mencuci tangan, memakai masker, dan menghindari kerumunan.

Wujud kekebalan komunitas dari ancaman SARS-CoV-2 ditandai oleh tren penularan COVID-19 yang terus menurun secara konsisten hingga ke titik paling minimal, atau bahkan nol penularan.

Kekebalan komunitas hanya bisa terbentuk karena adanya kekebalan setiap individu yang sudah disuntik vaksin. Setiap individu itulah dituntut bertanggungjawab pada proses menuju kekebalan secara komunal.

Baca juga: Delapan nakes di Jateng alami efek usai vaksinasi COVID-19

Dalam membentuk kekebalan komunal di tengah pandemi, tidak semua individu wajib mendapatkan vaksinasi. Yang dikecualikan adalah mereka yang memiliki masalah kesehatan atau sakit bawaan dan faktor usia.

Untuk menghindari ekses vaksinasi, tenaga kesehatan Indonesia patut belajar dari sebuah kasus di Norwegia. Tak kurang dari 23 lansia di negara itu meninggal setelah disuntik vaksin corona racikan Pfizer/BioNTec. Padahal efikasi Pfizer 95 persen.

Kasus di Norwegia menjadi semacam konfirmasi bahwa efikasi sebuah vaksin bukan jaminan bagi keamanan individu. Ada faktor lain yang harus menjadi pertimbangan, dan karena itu tetap dibutuhkan kehati-hatian dalam pemberian vaksin.

Belum lama ini, sempat diviralkan bahwa tingkat efikasi vaksin yang digunakan di Indonesia diasumsikan tidak aman. Asumsi itu dimunculkan karena dilakukan perbandingan bahwa Pfizer saja berdampak buruk apalagi Sinovac yang dari aspek efikasi jauh lebih rendah, hanya 65,3 persen dalam uji klinis.

Tentu saja asumsi itu tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, efektivitas vaksin akan diketahui setelah dilakukan pemantauan efek perlindungannya pada komunitas yang menerima vaksinasi dalam kurun waktu tertentu, dan juga bergantung pada kondisi kesehatan individu yang disuntik vaksin.

Masyarakat wajib tahu bahwa aspek kehati-hatian sudah diterapkan pemerintah sejak awal persiapan vaksinasi. Bukti kehati-hatian itu memprioritaskan kelompok masyarakat tertentu yang memiliki risiko tertular COVID-19 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya.

Tidak adanya lansia yang masuk daftar wajib vaksinasi di tahap awal vaksinasi merupakan bukti lain dari kehati-hatian itu.

*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI

Baca juga: Vaksinasi COVID-19, Presiden, dan Jerinx-Tjiptaning
Baca juga: Ajian vaksinasi sedang ditimpakan
Baca juga: Mengawal vaksinasi tanpa korupsi

 

Copyright © ANTARA 2021