Magelang (ANTARA) - Kepada sejumlah tamunya petang itu, Pak Bedo yang tinggal di dusun di kawasan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bercerita kebiasaan buruk masa lalunya yang bahkan sampai tak peduli istri dan anaknya.

Lelaki yang sekarang menyematkan nama sepuh, Darmo Pawiro, dan saat ini berusia 65 tahun itu, ketika beranjak menjadi bapak muda masih saja melanjutkan kebiasaan berjudi di tempat-tempat hajatan di desa-desa luar daerah setempat.

Bisa satu-dua bulan tak pulang, ia berpetualang judi, pindah-pindah rumah. Ketika semua modal judi ludes, ia baru pulang ke rumah. Hasil pun tak ada yang dibawa. Nyaris tak ada cerita orang gemar berjudi beroleh untung dan hidupnya kaya. Apalagi, bahagia berwaktu panjang.

Judi yang jadi kegemaran utamanya, punya rentetan tindak buruk lain, seperti nekat menggadaikan sepeda motor, mengemplang utang, dan manipulatif serta akal-akalan busuk lainnya.

Suatu sore pulang berjudi habis-habisan, ia tak berani masuk meski hanya di halaman rumah. Hanya dipandangnya dari Jalan Makadam depan rumah, istrinya menggendong anak sambil beres-beres pekarangan. Suatu ketika pula, ada hajatan di rumah orang tuanya di kampung itu, sorot mata orang-orang memvonis sebagai sosok tak berguna.

"'Ora aji dedhak setakir' (sama sekali tak berguna, red.)," ucap Pak Bedo yang menjalani waktu demi waktu kemudian bersama umur makin merayap, membawanya insaf keluar dari jalan hitam itu, lalu menjadi manusia lumrah, bertanggung jawab kepada diri dan keluarga, bertekun mengolah lahan sayuran serta berdagang tembakau.

Sejak insaf itu, setiap penghasilan bertani diberikan semua kepada istrinya. Bahkan, untuk keperluan potong rambutnya ke kota kecamatan di Pakis pun, dengan romantis ala kampung, ia meminta uang Rp20.000 kepada istri.

Pak Bedo saat ini menjadi orang tua yang berarti, dihormati isteri, anak, dan cucu. Tetangga pun tak lagi memandang sebelah mata, sebagai lumrah sesama warga.

Seorang pegiat budaya Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang Bambang Santoso mengemukakan ungkapan "ora aji dedhak setakir" masih lazim digunakan masyarakat desa.

Orang yang mendapatkan tempelan stigma itu, dianggap kehidupannya tak ada arti, tidak berguna, dan sia-sia.

"Dedak kalau hanya setakir itu untuk apa? Untuk pakan bebek pun tak bikin kenyang. Kalau satu truk lumayan, bisa dijual jadi uang. Dedak setakir, sesuatu yang sama sekali tidak ada gunanya," katanya.

Ungkapan bermakna kearifan lokal itu, ia kemukakan usai berperforma seni dalam pembukaan pameran patung karya seniman dari Gunung Merapi, Ismanto, dengan tajuk, "Jagad Batu Gus Dur", pertengahan Desember tahun lalu di Studio Mendut Kabupaten Magelang, pusat aktivitas seni-budaya kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Menjadi warga lumrah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai berarti penting bagi bangunan harmoni hidup bersama, terlebih di masyarakat desa. Satu-dua orang tampil menjadi tokoh dan panutan bagi yang lain pun lumrah saja. Suatu komunitas memang membutuhkan kehadiran panutan, terlebih saat menghadapi gawe bersama atau merampungkan persoalan bersama.

Dalam menghadapi tantangan bersama, setiap anggota komunitas mesti menjadi beraji guna. Kalau ada yang tidak beraji, ia dipinggirkan. Apalagi beraji mumpung untuk untung sendiri, ia dicela.

Begitulah kiranya boleh dibilang juga ketika seluruh bangsa dan perangkat negara ini sedang berkhidmah memukul mundur serangan COVID-19 yang berbahaya dan bahkan menelan korban jiwa, lebih dari 10 bulan terakhir ini, dengan mulai bareng-bareng membangun tembok kekebalan komunal, melalui vaksinasi.

Baca juga: Gubernur Babel wajibkan masyarakat vaksin COVID-19

Baca juga: 1.114 nakes di Kota Kupang mulai terima vaksin tahap pertama


Hadirkan

Pemerintah menghadirkan vaksin COVID-19 dan terus memperkuat jaminan ketercukupan bagi masyarakat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaruh standar vaksinasi untuk kekebalan komunal 70-80 persen dari total populasi. Kementerian Kesehatan meletakkan target vaksinasi sekitar 75 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 181,5 juta orang.

Program vaksinasi COVID-19 telah dijadwalkan dan secara bergelombang dikerjakan selama 15 bulan ke depan. Presiden Joko Widodo menjadi penerima vaksin pertama di Istana Kepresidenan di Jakarta pada Rabu (13/1), diikuti para kepala daerah, pejabat, pemimpin organisasi, pesohor, tokoh, dan pemuka masyarakat.

Keteladanan ikut vaksinasi dikedepankan, antara lain karena testimoni mereka penting untuk masyarakat berpartisipasi, sembari kampanye, sosialisasi, edukasi secara masif digaungkan.

Tata kelola vaksinasi diatur sedemikian rupa dan detail, antara lain menyangkut sarana prasarana, simulasi, disitribusi vaksin, serta prioritas utama hingga warga umum sesuai dengan ketentuan kesehatan, dan bahkan disediakan layanan penanganan kejadian ikutan pascaimunisasi.

Selagi vaksinasi dilakukan, permintaan kepada semua orang tetap mematuhi protokol kesehatan, tetap digelorakan. Tujuannya, agar vaksinasi kelar dan pandemi COVID-19 benar-benar uzur.

Sedemikian masif upaya pemerintah memperkuat kesadaran masyarakat mengikuti vaksinasi COVID-19 karena pada masa lalu pernah ada penolakan atas program vaksinasi untuk membangun imunitas dari penyakit yang lain. Belum lagi, saat awal-awal muncul pandemi ini, ada warga yang tidak percaya serangan virus dengan antara lain menganggap sebagai rekayasa global.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan vaksinasi COVID-19 bukan untuk kekebalan individu, melainkan kelompok yang lebih besar sehingga virus tak lagi beroleh tempat untuk menulari.

"Vaksinasi ini adalah salah satu proses kebersamaan. Yang akan dicapai vaksinasi bukan kekebalan individu tapi akhirnya herd immunity atau kekebalan bersama," ucapnya.

Masyarakat harus berpartisipasi dalam vaksinasi, termasuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan setelah divaksin.

Bahkan, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyebut selama satu hingga dua tahun protokol itu harus tetap dijalankan meski telah dilakukan vaksinasi.

Abai dan lengah terhadap protokol tersebut di tengah ajian vaksinasi COVID-19 yang sedang ditimpakan kepada virus, sebagai hambatan menghentikan pandemi.

"Vaksin tetap harus berdampingan dengan prosedur memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun, dan pemeriksaan dini, pelacakan, dan perawatan,” katanya.

Vaksin dengan hasil uji keampuhannya, menghadirkan optimisme dan ekspektasi berbagai kalangan dalam mengakhiri serangan COVID-19.

Kalau masih ada orang atau segelintir penolak vaksinasi di tengah upaya keluar dari kelam pandemi global, mungkin merekalah yang akan tertimpa vonis "ora aji dedhak setakir".

Puisi "Tumbang" karya penyair Magelang Damtoz Andreas dalam buku sajaknya, "Ilusi-Ilusi pada Sejuta Milyar Lembar Daun Lontar" (Penerbit TriBEE Secang, Magelang, 2020), barangkali menyempurnakan vonis itu.

"Setiap senja adalah waktu untuk kenangan. Alahan angkuh sembarang kelebat tilasmu. Hari-hari lalu bagaikan sisa cerita. Yang dilempar ke keranjang. Oleh sang pengarang," demikian karyanya pada akhir Juni 2019 itu.

Setiap orang memang diharapkan bersedia divaksin karena menyadari pentingnya imunitas bersama.

Maka jadilah, alangkah beraji kelebat tilasmu!*

Baca juga: Jokowi dongkrak pamor Sinovac

Baca juga: Kata mereka setelah divaksin COVID-19

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021