Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menilai dalam merevisi UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua harus melihat Papua dengan pendekatan yang halus dan kultural atau "soft power and cultural approach".

"Dalam Prolegnas (2021) ada Otsus Papua, ini diinisiasi pemerintah. Hal yang paling penting adalah Papua harus dilihat dengan pendekatan 'soft approach power' bukan 'hard approach power'," kata Willy dalam diskusi Forum Denpasar 12 secara virtual, Rabu.

Menurut dia, kalau menggunakan "hard power approach" akan cenderung menggunakan pendekatan militeristik terhadap Papua, sehingga yang diperlukan adalah "soft approach power" dan juga pendekatan kultural.

Dia mencontohkan pendekatan kultural bisa dilakukan dengan menjadikan Papua sebagai pusat pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Baca juga: Anggota DPD: Otsus Papua harus dievaluasi menyeluruh

"Apa yang dikatakan Presiden Jokowi akan menjadikan Papua sebagai episentrum pembangunan SDM adalah sangat tepat," ujarnya.

Politisi Partai NasDem itu mencontohkan langkah fisikawan Indonesia Yohanes Surya yang menjadikan anak-anak di Papua menjadi juara olimpiade sains. Hal itu, menurut dia, merupakan upaya membangun SDM di Papua sehingga menjadi anak-anak yang hebat.

Dalam diskusi tersebut, peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan saat ini terjadi tren menurunnya representasi politik Orang Asli Papua (OAP) di DPRD. Dia menilai hal itu bisa diatasi dengan langkah asimetris dari sisi pencalonan di legislatif, misalnya pemberian quota pencalonan 30 persen bagi OAP.

"Asimetris dari sisi nomor urut dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) tetap, sebagai langkah meningkatkan keterpilihan bagi OAP," katanya.

Selain itu, katanya, asimetris dari sisi pemilihan kepala daerah (Pilkada), langkah alternatif yang bisa dilakukan adalah daerah-daerah yang masih menerapkan secara penuh sistem noken, kepala daerahnya dapat dipilih DPRD.

Baca juga: Bertemu Mahfud, DPRD Papua Barat sampaikan aspirasi soal Otsus

Arya menjelaskan studi yang dilakukan CSIS tahun 2020 dan Perludem menunjukkan banyak praktik buruk dalam penerapan sistem noken seperti politik uang, konflik, dan tidak ada standarisasi tahapan serta pilihan kepala suku tidak mewakili masyarakat.

"Ada dua alternatif yang bisa dilakukan yaitu membuat standarisasi penggunaan sistem noken, atau secara bertahap mengubah noken menjadi sistem nasional," ujarnya.

Dia juga mengatakan, pendekatan asimetris dari sisi partai politik juga bisa dilakukan di Papua yaitu pemberian legalitas parpol lokal sebagai upaya untuk memoderasi konflik di tingkat lokal.

Hadir dalam diskusi Forum Denpasar 12 tersebut antara lain Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya, peneliti CSIS Arya Fernandes, Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, dan Ketua DPP Partai NasDem Korbid Kebijakan Publik dan Isu Strategis Suyoto.

Baca juga: Moeldoko: Otsus kedua semangat baru percepatan pembangunan Papua

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021