Di tengah kepercayaan terhadap demokrasi, sebagian kelompok masyarakat tak pernah bebas dari ilusi membayangkan utopia bahwa ada sistem politik lain yang lebih ideal.
Jakarta (ANTARA) - Dalam rentang waktu satu tahun belakangan, pandemi mengoyak kestabilan tata bermasyarakat di seluruh dunia. Di aspek ekonomi, dampaknya bahkan dinilai lebih parah ketimbang masa kelam dekade 30 saat Depresi Besar melanda.

Namun, pandemi, meski mengakibatkan sejumlah penangguhan, tak menghentikan aktivitas politik yang menjadi kunci keberlangsungan hidup bersama, yakni pemilihan umum.

Di antara sejumlah negara yang menyelenggarakan pemilihan umum, di level nasional atau lokal, pemilihan umum di Amerika Serikat pada tanggal 3 November 2020 merupakan fenomena menarik. Bahwa justru di masa pandemi inilah tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih presiden meningkat dari rata-rata partisipasi politik pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang hanya di kisaran 60 persen.

Pilkada serentak di Tanah Air pun terselenggara pada masa pandemi, 9 Desember 2020. Tiga bulan sebelum hari-H pencoblosan tiba, seorang pengamat politik sempat menghebohkan dengan pernyataan prediktifnya bahwa Pilkada Serentak 9 Desember akan menjadi bom penularan COVID-19. Dia pun mengusulkan untuk menangguhkan pilkada itu pada tahun berikutnya.

Namun, pemerintah menempuh pilihan lain, tetap menyelenggarakan hajatan demokrasi itu, dengan menetapkan pedoman ekstra ketat mengikuti apa yang digariskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pemilihan pemimpin politik di tengah wabah corona.

Baca juga: PDIP bahas penguatan politik identitas dan biaya tinggi berdemokrasi

Menurut hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sekitar 94—97 persen warga yang tinggal di daerah menyatakan protokol kesehatan telah diterapkan secara ketat pada hari-H pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yang diikuti 270 daerah.

Temuan survei ini menunjukkan bahwa hampir semua pemilih menyatakan memakai masker (96 persen) dan menjaga jarak fisik (97 persen) saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Hampir semua pemilih juga menyatakan bahwa petugas di TPS memakai masker (95 persen), memberikan sarung tangan kepada pemilih (94 persen), dan menyediakan tempat cuci tangan yang dilengkapi sabun dan air mengalir (96 persen).

Kesadaran warga yang khawatir dengan penularan COVID-19 saat pilkada relatif cukup tinggi. Sekitar 72 persen warga merasa khawatir dengan penularan wabah itu. Namun, ternyata 76 persen warga tetap menyatakan ikut dalam pilkada.

Apa makna dari fenomena bahwa publik tetap berpartisipasi secara signifikan meskipun ancaman corona bisa menimbulkan kemungkinan konsekuensi fatal pada mereka?

Salah satu makna itu adalah terbangunnya pemahaman bahwa berdemokrasi, yang salah satu manifestasinya berupa pemilu, harus diselenggarakan selagi ruang atau kesempatan masih memungkinkan. Mungkin hanya perang skala global yang akan membatalkan, meski sementara, pemilu.

Mengapa demokrasi mesti diperjuangkan dengan sedemikian rupa, bahkan boleh dibilang dengan keras kepala? Karena amanat konstitusi, karena demokrasilah pilihan terbaik sejarah, paling minim melahirkan pertumpahan darah dibandingkan dengan sistem monarki, teokrasi, atau antidemokrasi lain.

Baca juga: Para Syndicate: Praktik demokrasi juga perlu divaksinasi

Namun, di tengah kepercayaan terhadap demokrasi, sebagian kelompok masyarakat tak pernah bebas dari ilusi membayangkan utopia bahwa ada sistem politik lain yang lebih ideal. Ilusi demikian muncul karena berbagai konsekuensi negatif akibat penerapan demokrasi. Kesan-kesan atas terjadinya ketidakadilan, kesenjangan, yang sebetulnya parsial membuat kelompok sosial tertentu tak sabar mengikuti cara beroperasinya demokrasi.

Godaan untuk memilih sistem politik teokratis, atau setidaknya belum lahirnya kesiapan untuk berdemokrasi secara mendasar dengan membiarkan prinsip sekularisme bertumbuh masih menjadi batu penghalang bagi praksis demokrasi di Tanah Air. Banyak orang yang punya persepsi salah bahwa sekularisme mengerdilkan aktivitas religius. Namun, sekularisme meminimalisasi politisi mengeksploitasi sentimen religius masyarakat tidaklah keliru.

Harus diakui, kalangan umat Islam—yang menjadi mayoritas dan menentukan mentah matangnya demokrasi di Indonesia—masih terbelah antara mereka yang belum hakul yakin dengan demokrasi yang perlu ditegakkan dengan menjalankan sekularisme dan mereka yang percaya bahwa perkara religiusitas dan politik perlu diberi garis demarkasi.

Sekularisme tak menghalangi minoritas meraih posisi pemimpin politik. Salah satu contoh fenomenal, posisi jabatan politik di Inggris juga ditempati warga dari kelompok minoritas muslim. Sebetulnya, di sini pun, kaum minoritas bisa juga menempati jabatan publik. Yang membedakan, penautan perkara politik dan iman di sini lebih menguat pada masa-masa kampanye menjelang pemilu. Masalahnya, demokrasi sendiri memungkinkan berlangsungnya eksploitasi sentimen keagamaan warga negara.

Politik di India pun tak bisa melepaskan dari gejala antisekularisme itu. Para pemimpin politik dari kelompok mayoritas Hindu di negara itu mengobarkan semangat sektarian saat berkampanye. Bahkan, dalam kampanyenya yang mendapat cemooh dari pengamat politik pada pemilu 3 November lalu, Presiden Donald Trump sebagai petahana berpose dengan memamerkan Alkitab untuk menangguk suara dari kaum konservatif Protestan.

Baca juga: Pengadilan AS tolak gugatan yang minta Pence batalkan kemenangan Biden

Bagi pegiat dan penganjur demokrasi sebagai sistem ideal dari anak kandung revolusi Prancis, sekularisme, pemilahan yang religius dan yang duniawi adalah keniscayaan. Agama dan Tuhan biarlah tetap di ruang privat suci, tak dijadikan alat membujuk konstituen untuk merebut kuasa politik.

Ruang publik bagi aktivitas religius biarlah dijalankan oleh organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Dewan Masjid Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan lain-lain. Tokoh politik harus membatasi diri untuk tidak menyeret ormas keagamaan ini dalam perburuan suara untuk kekuasaan.

Ketika para politikus dalam berpolitik sanggup memilah yang duniawi dan yang sakral, perspektif politik publik pun lebih jernih menghadapi problem keseharian mereka. Tentu bukan persoalan mudah untuk memandang dua ranah, yang duniawi dan yang suci, sebagai persoalan hitam putih yang simplistis.

Namun, kecenderungan yang mengarah untuk tidak mencampuradukkan persoalan relasi antarindividu sebagai entitas sosial dan persoalan relasi metafisik antara individu dan Sang Khalik perlu terus-menerus diikhtiarkan.

Demokrasi di Tanah Air, setidaknya, masih akan berkutat ke perkara sekularisme itu setelah berhasil melewati masa-masa sulit akibat pandemi dalam setahun terakhir ini.

Copyright © ANTARA 2021