Jakarta (ANTARA) - Pendiri Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara menilai ekosistem fintech harus dibangun secara sehat agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal oleh masyarakat dan juga berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

"Jadi kalau negara ini ingin terus dapat manfaat untuk ekonomi dan untuk masyarakat, maka ekosistem fintech ini harus dibangun sehat, semuanya hidup. Konsumennya dapat pelayanan, investornya dia dapat return dan pelakunya, artinya para pegawainya direksinya dan sebagainya, dia terus dapat berinovasi. Karena lagi uangnya yang membangun startup ini bukan uang pemerintah, tapi uang investor," ujar Mirza saat diskusi daring di Jakarta, Selasa.

Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2013-2019 itu, inovasi dan investasi di fintech harus bisa terus berjalan agar semakin banyak masyarakat yang dapat menikmati berbagai macam kemudahan dalam berbagai aktivitasnya, mulai dari membeli makanan hingga membeli polis asuransi.

Baca juga: Pandemi dorong pelaku UKM manfaatkan fintech

"Kita sekarang ini terutama masyarakat di kota-kota besar di Indonesia menikmati bisa pesan makanan dengan lebih mudah, bisa naik angkutan dengan lebih mudah. Kalau yang di sektor kesehatan bisa konsultasi ke dokter sekarang dengancara yang lebih mudah, bisa dapat advise tentang kesehatan, beli obat juga lebih mudah. Yang di dunia e-commerce kita bisa beli berbagai barang dengan lebih mudah, beli polis asuransi lebih mudah, hingga beli SBN ritel," kata Mirza.

Kendati demikian, lanjut Mirza, di sisi lain perlindungan kepada konsumen juga harus bagus. Begitu pula perlindungan terhadap risiko teknologinya juga harus baik. Oleh karena itu, IFSoch terus menerus mengajak pemerintah dan regulaor baik itu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta regulator terkait teknologi dan telekomunikasinya untuk terus membuka pintu diskusi pada waktu membuat kebijakan-kebijakan.

Ia pun mewanti-wanti, jangan sampai regulasi dibuat namun tahu-tahu teknologinya sudah berkembang lebih cepat, lalu akhirnya inovasinya jadi mandeg gara-gara regulasinya yang terlaku kaku.

"Suatu regulasi yang sifatnya "principle based" itu penting. Karena kalau sifatnya teknikal satu per satu, akhirnya terlalu "very detail" dan akhirnya approval-nya juga membebani regulator sehingga aprrovalnya terlalu lama juga, dan akhirnya masyarakat tidak dapat terlayani," ujar Mirza.

Baca juga: Wapres: Perluas "fintech" syariah untuk inklusi keuangan syariah

Mirza juga berharap pemerintah bersama Bank Indonesia dapat mendorong pemanfaatan teknologi dalam berbagai program pemerintah, misalnya terkait penyaluran bantuan sosial, yang dapat dilakukan secara elektronik agar semakin efisien dan tepat sasaran.

"Tentu ini diharapkan bisa lebih cepat, lebih akurat, juga bisa kurangi kebocoran-kebocoran. Maka dari itu mengapa ifntech ini kami anggap jadi salah satu tonggak transformasi ekonomi Indonesia," kata Mirza.

Mirza menambahkan, saat ini sektor keuangan di Indonesia masih sangat menarik bagi investor asing karena potensinya yang juga masih sangat besar. Ia mencontohkan meski di Indonesia saat ini sudah terdapat sekitar 105-110 bank di Tanah Air, masih ada saja investor atau bank luar negeri yang mencari lisensi bank di Indonesia, terutama yang banknya sudah jadi.

"Karena memang kalau kita lihat dari sisi credit to GDP, Indonesia baru 35-37 persen dari PDB. Kalau negara berkembang lainnya bisa 70 persen bahkan sampai 100 persen dari PDB. Jadi di situ ada potensi pertumbuhan, sehingga memang kalau kita lihat kenapa sektor keuangan itu bagi investor masuk Indonesia ini masih jadi hal yang menarik. Begitu pula dengan fintech, kenapa startup fintech investornya sangat berminat, ya tentu pertimbangnnya sama dengan perbankan tadi," ujar Mirza.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020