Anak yang dikawinkan akan memiliki beban untuk menafkahi keluarga sehingga harus bekerja. Hal itu pada akhirnya berdampak pada peningkatan angka pekerja anak.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan perkawinan anak berisiko tinggi menyebabkan kemiskinan, tidak hanya pada anak yang dikawinkan tetapi juga pada generasi-generasi anak tersebut berikutnya.

"Perkawinan anak dapat menyebabkan kemiskinan lintas generasi. Perkawinan anak meningkatkan risiko putus sekolah yang berdampak pada pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah," kata Bintang dalam seminar daring tentang perkawinan anak yang diselenggarakan Yayasan Mitra Daya Setara yang diikuti dari Jakarta, Senin.

Anak yang dikawinkan akan memiliki beban untuk menafkahi keluarga sehingga harus bekerja. Hal itu pada akhirnya berdampak pada peningkatan angka pekerja anak.

Menurut Bintang, praktik perkawinan anak memiliki dampak jangka panjang terhadap keluarga, masyarakat, dan generasi selanjutnya. Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan adalah ketidaksiapan anak secara fisik untuk dikawinkan.

"Perempuan yang hamil di bawah usia 20 tahun secara fisik belum siap untuk mengandung dan melahirkan," tuturnya.
Baca juga: Menteri PPPA: Pandemi berdampak pada tingginya perkawinan anak
Baca juga: KPAI: Dispensasi masih jadi tantangan pencegahan perkawinan anak


Ketidaksiapan mental pasangan perkawinan anak juga berisiko menyebabkan anak mengalami stress tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan pemberian pola asuh yang tidak tepat bila memiliki anak.

Bintang mengatakan praktik perkawinan anak harus dicegah karena merupakan pelanggaran atas hak-hak anak yang dapat berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya.

"Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia," katanya.

Pendiri Yayasan Mitra Daya Setara, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan anak secara psikologis dan ekonomi belum siap untuk berumah tangga sehingga berisiko terjadi kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian.

"Namun, masih ada anggapan sebagian masyarakat dan pemahaman terhadap tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran yang sebenarnya yang terkesan mendukung praktik perkawinan anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2009-2014.
Baca juga: KPPPA: Pendapat anak harus didengar bila dikawinkan
Baca juga: Menteri PPPA ingatkan perkawinan anak langgar hak anak, harus disetop

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020